Tips Mendapatkan Malam Lailatul Qodar
Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wasallam menganjurkan umatnya untuk mengharap dan
mengupayakan agar dianugerahi Lailatul Qadar, Para ulama berupaya meneliti
pengalaman mereka dalam menemukan Lailatul Qadar. Di antara ulama yang menyatakan bahwa
ada kaidah atau formula untuk mengetahui itu adalah Imam Al-Ghazali (450 H- 505
H) dan Imam Abul Hasan as Syadzili.
Menurut Imam Al-Ghazali dan juga ulama
lainnya, sebagaimana disebut dalam I’anatut Thalibin juz 2, hal. 257,
bahwa cara untuk mengetahui Lailatul Qadar bisa dilihat dari hari pertama dari
bulan Ramadhan:
- Jika awalnya jatuh pada hari Ahad atau Rabu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-29
- Jika awalnya jatuh pada hari Senin maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-21
- Jika awalnya jatuh pada hari Selasa atau Jum'at maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-27
- Jika awalnya jatuh pada hari Kamis maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-25
- Jika awalnya jatuh pada hari Sabtu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-23
Bahkan dinyatakan bahwa Syekh Abu
Hasan As-Syadzili semenjak baligh selalu mendapatkan Lailatul Qadar dan sesuai
dengan kaidah ini.
Syekh Abul Hasan As-Syadzili berkata:
“Semenjak saya menginjak usia dewasa Lailatul Qadar tidak pernah meleset dari jadwal atau kaidah tersebut."
Kaidah ini sesuai dengan keterangan dalam Hasyiah al-Jamal, hal. 480. Kaidah
ini tercantum dalam kitab-kitab para ulama termasuk dalam kitab-kitab fiqih
bermazhab Syafi’i (fiqh Syafi’iyyah). Rumus ini teruji dari kebiasaan
para ulama yang telah menemui Lailatul Qadar. Demikianlah ijtihad Imam
Al-Ghazali dan disetujui oleh banyak ulama sebagaimana termaktub dalam
kitab-kitab fiqih.
Akan
tetapi ada juga beberapa hadits yang secara khusus menunjuk tanggal pada bulan romadhon.
Beberapa shahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pernah bermimpi bahwa Lailatul Qadar tiba di tujuh hari
terakhir.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Aku juga bermimpi sama sebagaimana mimpi kalian bahwa Lailatul Qadar pada tujuh hari terakhir, barangsiapa yang berupaya untuk mencarinya, maka hendaknya dia mencarinya pada tujuh hari terakhir. ” (muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:
“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir, jika salah seorang dari kalian merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terlewatkan tujuh hari yang tersisa dari bulan Ramadhan.” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma)
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“(Dia adalah) malam ke-27. ” (HR. Abu Dawud, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radliyallahu ‘anhuma, dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
Sahabat Ubay bin Ka’b radliyallahu
‘anhu menegaskan:
"Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul Qadar) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menegakkan shalat padanya, yaitu malam ke-27." (HR. Muslim)
Dalam hadits Abu Dzar disebutkan:
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat bersama mereka (para sahabat) pada malam dua puluh tiga (23), dua puluh lima (25), dan dua puluh tujuh (27) dan disebutkan bahwasanya beliau mengajak salat keluarga dan istri-istrinya pada malam dua puluh tujuh (27).”
Jadi dapat disimpulkan bahwa arahan
yang paling rajih (kuat) berdasar hadits adalah pada 7 malam ganjil terakhir
terutama di tanggal 27 romadhon.
Lantas mengapa banyak para Imam, Ulama
besar yang memakai kaidah seperti Imam Ghazali diatas, tidaklah lantas
bertentangan dengan hadits yang menunjukan kekhususan tanggal 27 karena
Imam-Imam tersebut sudah pasti meneliti dan memahami asababun nuzul serta kaidah-kaidah pada hadits-hadits tersebut
karena tanggal 27 pun bukanlah tanggal yang benar-benar pasti atau boleh jadi
para sahabat meriwayatkan kejadian (hanya) di tahun yang sama.wallohu’alam
Berdasarkah hal diatas kita bisa
memakai 2 cara untuk menentukan atau mengarahkan mencari malam 1000 bulan
tersebut yaitu dengan : Memakai kaidah Imam Ghazali dan Pada tanggal 27
romadhon, dua-duanya kita jadikan ke-khusus-an.
Tentang
hakikat kepastian kebenarannya, jawaban terbaiknya adalah wallahu ‘a’lam (hanya
Allah yang paling tahu). Karena itu, walaupun titik pusat konsentrasi qiyam
ramadhan dan ibadah kita boleh diarahkan sesuai dengan kaidah tersebut,
hendaknya kita terus mencari malam yang penuh kemuliaan itu di malam atau
tanggal apa dan mana pun, dan terutama pada malam ganjil, dan terutama pada
malam-malam sepuluh akhir, dan terutama lagi pada malam ganjil di sepuluh
akhir.
Apakah harus I’tikaf di masjid ?
I’tikaf
bukanlah syarat untuk mendapatkan malam Lailatul Qodar. Tapi jika mampu
beri’tikaf mengapa tidak? Karena itu ialah sunnah yang sangat besar pahalanya.
Dan itulah sunnah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
selama 10 terakhir Ramadhan sepanjang hidup beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tapi sesungguhnya, malam Lailatul Qodr tidaklah dikhususkan untuk mereka yang beri’tikaf saja, tapi siapapun yang ketika malam itu menghidupkan malamnya dengan ibadah sebagaimana disebutkan dalam penjelasan diatas.
“Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qodr dengan Iman dan Ihtisab (mengharapkan pahala), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau” (HR Bukhori)
Orang yang beri’tikaf, karena kedekatannya dengan ibadah di malam itu, maka kedeketannya untuk mendapatkan malam Lailatul-Qodr pun menjadi sangat terbuka lebar.
Imam al-Syirbiniy dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj (2/189) mengutip pernyataan Imam AS-Sayfi’i dalam Qoul Qodim (pernyataan lama)-nya yang menyatakan bahwa keutamaan malam Lailatul Qodar itu bisa diraih bagi siapa yang hanya mengerjakan sholat Isya’ dan subuh secara bejamaah, sesuai hadits Ustman bin Affan diatas.
Kemudian beliau mengutip sebuah riwayat yang marfu’ dari Abu Hurairoh sebagai penguat statement sang Imam, disebutkan bahwa:
“Barang siapa yang sholat isya’ terakhir secara berjamaah, maka ia telah mendapatkan (keutamaan) malam Lailatul Qodar.”
Dalam litelatur lainnya, dijelaskan oleh Imam Al-‘Iroqi (806 H) dalam kitabnya “Thorhu Ats-Tsasrib” (4/161) bahwa yang dimaksud menghidupkan malam guna meraih keutamaan malam Lailatul Qodr itu bukanlah dengan menghidupkan sepanjang malam tanpa istirahat. Beliau mengatakan:
“Yang dimaksud menghidupkan malam lailatul-qadr bukanlah menghidupkan malam penuh tanpa istirahat. Akan tetapi cukup sebagian kecil malam saja, seperti orang yang bangun untuk sholat tahajud dan sebelumnya telah tidur. Atau juga dengan hanya sholat tarawih bersama Jemaah, atau juga sholat isya dan subuh secara bejamaah, seperti yang telah dijelaskan dalam hadits ustman bin Affan tersebut.”
Sheikh Shofiyurrahman Al-Mubarokafuri (1414 H), Ulama India penulis Siroh Nabawiyah fenomenal “Al-Rohiq Al-Makhtum” ini juga ikut berkomentar. Dalam kitabnya “Mir’atul Mafatih syarhu Misykat al-Mashabih” (6/405) beliau mengatakan:
“memang ulama tidak satu suara dalam masalah ini, tetapi secara zohirnya orang yang hanya sholat Isya’ berjemaah telah disebut sebagai orang yang menghidupkan malam. Berarti ia juga mendapat keutamaan lailatul Qodar karena telah menghidupkan malamnya. Tetapi juga dikatakan oleh Imam Al-Kirmani bahwasanya seseorang tidak disebut sebagai menghidupi malam jika tidak bangun sepanjang malam atau sebagian besar malam.”
Kesimpulan
Bahwa memang ulama tidak dalam satu suara, artinya mereka berselisih pendapat dalam masalah ini. Apakah untuk mendapatkan kemuliaan malam lailatul qodar itu seseorang harus bangun sepanjang malam dan menghidupkannya dengan ibadah tanpa harus istirahat?
Atau kan bisa hanya dengan sholat isya’ dan subuh berjemaah, atau dengan sholat tarawih seperti kebiasaan, atau hanya bangun di sebagian malam untuk sholat Tahajjud.
Tapi harus diketahui, bahwa rahmat Allah itu sangat luas. Orang yang hanya menghidupkan sebagian kecil dari malamnya itu juga tentunya mendapat kemualian malam Lailatul Qodr, karena ia telah menghidupkan malamnya walau hanya sebentar. Tapi tentu saja pahala dan ganjaran yang didapat tidak sebanding dengan mereka-mereka yang menghidupkan semalaman penuh tanpa tertidur.
Dan orang yang menghidupkan hanya sebagian kecil malamnya tentu saja merugi, karena ia melewatkan kesempatan dan pahala ibadah yang sangat agung yang telah Allah siapkan disepuluh terakhir Ramadhan ini. Terlebih lagi bahwa Nabi saw telah mencontohkan, kalau beliau saw itu sangat serius beribadah ketika masuk sepuluh terakhir ramadhan dan beri’tikaf sampai akhir ramadhan, yang keseriusannya itu tidak seperti di hari-hari lain.
Jadi, selanjutnya terserah anda. Tinggal pilih, model ibadah mana yang anda inginkan?
Dikutip
dari : Ust Ahmad
Zarkasih, Lc -rumahfiqih.com-
, nu.or.id dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar