Belakangan ini Hijrah menjadi tren di berbagai kalangan baik itu publik figur, umum, tua dan muda serta menjadi gerakan yang aktif di kehidupan nyata maupun di media sosial. Ini adalah suatu hal positif yang musti di syukuri dan patut disambut dengan baik.
Hijrah
adalah berpindah dari keadaan yang semula buruk / kurang baik menjadi keadaan
yang lebih baik, dari kondisi yang sudah baik menjadi kondisi yang lebih baik.
Namun dalam fenomena sekarang ini hijrah lebih di pahami sebagai pengenalan
agama yang lebih dekat dan mendalam dari sebelumnya yang di rasa kurang
atau jauh.
Perlu di garis bawahi bahwa sejatinya Hijrah itu
bukan hanya lahirnya saja akan tetapi juga bathinnya yang juga tak kalah
penting.
Jika lahirnya sulit di goda maka hatinya yang
dibuat rusak begitulah tipu muslihat syetan dan hawa nafsu. Seolah-olah syetan
membiarkan ibadah kita bahkan menambahkan semangat yang berlebihan dalam amal
ibadah kita namun tujuannya agar kita tidak merasa sudah keluar jalur dari
jalan yang di ridhoi Allah subhanahu wata’ala,
Maka dari itu agar seorang Muhajir ( Ahli Hijrah ) senantiasa mawas
diri serta amal ibadahnya senantiasa ada dalam ridho Allah subhanahu wata’ala,
kenalilah potensi-potensi tipu daya syetan dan hawa nafsu setelah berhijrah
tersebut seperti :
Merasa lebih sholeh dari orang lain
Merasa lebih berilmu/ lebih ngerti agama dari
orang lain
Ingin terlihat sebagai orang sholeh
Ingin terlihat paham agama
Ingin terlihat sudah hijrah
Implikasi nya adalah pada perilaku seperti :
Senang membanggakan amal ibadah sendiri
Senang mengkritik cara ibadah / amalan orang lain,
mencari kekurangan ibadah orang lain.
Terlalu bersemangat dalam mencari ilmu dan
berdakwah hingga mengabaikan adab dan hakekat ilmu dan dakwah itu sendiri
Transformasi bahasa/istilah arab yang “dipaksakan”
dan tidak tersampaikannya maksud serta tujuannya
Menonjolkan dan membanggakan cara ibadah dan
penampilan yang berbeda.
dll
Ulama katakan “man katsuru ilmuhu, qalla inkaruhu”
(siapa yang banyak ilmunya, ia sedikit mengingkari)
Sedikit Ilmu, Banyak Melarangnya. Banyak Ilmu banyak diamnya.
Maksudnya ialah orang yang punya banyak ilmu, ia
akan sedikit untuk menginkari / mengkritisi, menentang apa yang dilakukan oleh orang lain.
Tidak asal menyalahkan ketika melihat –menurut
pandangannya- ada yang keliru, Tapi di teliti dulu dipelajari dahulu.
Begitu juga, makin banyak pengetahun seseorang
tentang syariah dan perbedaan fiqih , ia akan jauh lebih bijak dalam bicaranya atau dakwahnya.
Ia tidak akan langsung memvonis salah atau bid’ah
(Dholalah) ketika melihat ada yang berbeda, karena ia tahu bahwa dalam satu
masalah, bukan hanya ada satu pandangan/pendapat saja, tapi ada juga pandangan
lain dari ulama lainnya.
Kebenaran itu tidak hanya / harus satu jalan tapi
bisa melalui dari banyak jalan.
Dalam Kitab Imam Ghazali dikatakan:
“Jalan menuju Allah itu begitu banyak, sebanyak
nafas makhluk”.
Tak perlu kita merasa bahwa cara beribadah kita atau kelompok kitalah yang benar atau paling benar, lalu berusaha memahamkan orang lain dan diterapkan oleh orang lain. Baju yang kita pakai belum tentu pas di badan orang lain, begitupula keyakinan, kepahaman ataupun cara beribadah,
Di era
digital ini begitu mudah dan instan nya ilmu di dapat akan tetapi kita harus
waspada dan bisa memilah serta memilih , karena banyak sekali ilmu yang
memerlukan pemahaman lebih mendalam dan juga banyak terdapat ikhtilaf
(perbedaan pendapat) yang membutuhkan penjelasan lebih detail dari ulama.
Dalam menuntut ilmu jangan sampai bertujuan untuk
menunjukkan kekurangan atau kesalahan amal ibadah orang lain. Jangan karena ingin
berdebat atau ingin dianggap lebih baik dari orang lain.
Tapi carilah ilmu karena ingin memahami ibadah
lebih dalam, Ingin lebih baik dalam Ibadahnya dan untuk mendekatkan diri kepada
Allah subhanahu wata’ala.
Jangan terfokus hanya dari satu sumber saja
carilah perbandingannya, Jangan taqlid buta hanya mempelajari satu arahan
(pendapat) ulama saja tapi kenali dan hargai pendapat lain agar tak ada rasa
paling benar dalam diri.
Carilah guru sebanyak mungkin agar ilmu
yang kita pelajari bisa lebih di pahami karena sering kali suatu ilmu atau ayat
al qur’an atau hadits itu harus di pahami tidak hanya secara harfiah / tekstual
saja tapi lebih luas lebih dalam dari itu maknanya baik itu makna lahir maupun
makna bathin, tersirat dan tersurat.
Begitupula dengan dakwah, hakikat dari dakwah itu
adalah untuk diri sendiri bukan untuk “memperbaiki” orang lain,
Dakwah itu tak harus mengatakan semua yang kita
ketahui atau yang baru kita pelajari, apalagi jika kita kurang memperhatikan
adab dalam penyampaiannya.
Imam Ghazali mengingatkan bahwa:
"Dakwah dengan perbuatan itu lebih kuat".
Apalagi kita yang minim adab dan ilmu ini,
salah-salah bukan manfaat yang didapat malah akan mendatangkan mudharat. Coba
perhatikan dan renungkan bagaimana reaksi orang lain disekitar kita apakah
merasa nyaman dengan keberadaan kita? Atau malah membuat mereka risih, menjaga
jarak, enggan terlibat jauh dalam pembicaraan bahkan tanpa disadari sering
menghindari kita?.
Jadi bagi kita yang pemula ini, yang masih awam
dalam memahami agama, masih belajar ngaji, maka utamakanlah dakwah dengan perbuatan, dengan
melakukan amalan-amalan baik.
Serukan anjuran-anjuran baik, namun mempersedikit
“larangan” yang mungkin mengandung ikhtilaf didalamnya yang belum kita pahami
yang bisa membingungkan dan atau memancing perdebatan, bahkan merenggangkan
silaturahim.
Dengan Amar ma'ruf maka yang Munkar pun dapat
dijauhkan. Ini jauh lebih “aman” dan baik bagi kita yang miskin ilmu dan adab
ini.
Ingin Terlihat Telah Hijrah
Setelah hijrah sering
kali ada perasaan ingin diketahui semua orang bahwa kita telah hijrah, menjadi
baik, kita sudah melaksanakan beragam amal ibadah, ataupun memiliki rasa bangga
dan ingin menonjolkan penampilan dan cara ibadah kita yang berbeda dari
kalangan umum.
Misalkan kita berusaha berpakaian La Isbal (tidak
melebihi mata kaki) tapi mengesampingkan hakekat la isbal itu sendiri. la isbal
sendiri hakekatnya adalah agar kita tidak menjadi orang yang sombong, dan
berpakaian dengan tidak melebihi mata kaki (untuk laki-laki) adalah salah satu
upaya agar:
lahiryah kita mengingatkan pada bathiniyah kita
untuk tidak menjadi pribadi yang sombong.
Bukan malah sebaliknya menghadirkan rasa ujub
dalam diri karena sudah bisa “nyunnah” dan memandang rendah orang lain yang
belum seperti kita.
Kalangan mazhab 4 pun tidak ada yang mewajibkannya karena
hukumnya sunnah, jadi tak perlu menganggap orang yang isbal itu melakukan suatu
hal yang subhat bahkan haram, tapi jadikanlah la isbal itu sebagai pengingat untuk hati kita
agar menjauhkan penyakit hati seperti riya dan ujub.
Contoh lain yang dapat merusak hijrah hati kita adalah keinginan untuk berbeda
dalam penggunaan istilah -arab- agar terlihat keren atau islami. Memang tidak
ada salahnya bahkan terkadang lebih Afdol (Lebih utama ) menggunakan istilah
tersebut, tapi yang harus jadi perhatian adalah niat yang terkandung
didalamnya, situasi kondisi serta maksudnya dan tujuannya tersampaikan atau
tidak jangan sampai salah kaprah.
Banyak yang tidak sadar dalam hal2 tersebut sebetulnya tidak semuanya "islami" tapi adalah murni bahasa arab.
Lain halnya dengan hal yang telah lazim dipahami oleh semua orang seperti ucapan istirja' (Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun) akan jauh lebih baik daripada kita menyebut artinya / terjemahannya yang malah akan mengakibatkan gagal paham.
Imam Ali berkata : "Berbicaralah kepada orang lain dengan bahasa yang mereka pahami"
Jadi sahabat, marilah kita Hijrah Lahir dan Bathinnya agar kita dijauhkan
dari penyakit bathin, dari sifat-sifat yang dapat mengurangi bahkan menghapus
nilai ibadah kita, agar Allah senantiasa membimbing kita dalam jalan yang di
ridhoi-Nya dan melanggeng hidayah dalam diri kita. tetap semangat dan selalu
hijrah sampai hembusan nafas terakhir kita.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatu.
Sumber : Berbagai sumber