BAGIAN KEDUA
MASALAH KHILAFIYAH
BAB ”PENAMBAHAN“ DALAM SHOLAT
A. PEMAHAMAN BID’AH
mengada-ngadakan syari’at baru
Perkara-perkara baru (Bid’ah) itu terbagi menjadi 2 macam :
1) Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar, perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat (Bid’ah Dholalah).
2) Perkara baru yang baru yang baik & tidak menyalahi satu pun dari al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka perkara baru seperti ini tidak tercela (Bid’ah Hasanah).
(Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i –Jilid 1- Halaman 469).
Pernyataan Imam Syafi’i di atas adalah kelanjutan dari pemahaman Imam Syafi’i tentang legalitas Bid’ah Hasanah. batasan Bid’ah Dholalah adalah bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar & Ijma’, selama sesuatu yang baru dalam Agama itu tidak bertentangan dengan 4 batasan tersebut, maka itu bukan Bid’ah Dholalah & tidak termasuk menambah atau mengada-ngada syari’at baru, karena batasan Bid’ah Dholalah bukan pada:
“Tidak ada nash yang shohih”, atau pada “Adakah rasulJdan para sahabat telah melakukan nya?”
yang selama ini selalu dijadikan landasan para penuduh.
umhur Ulama ( mayoritas ulama)
v Imam Nawawi yang mengatakan:
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya & pahala orang yang mengikutinya & tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, & barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya & dosa orang yang mengikutinya”.
Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, & ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, & pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliauj: “semua yang baru adalah Bid’ah, & semua yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk & Bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Maksud Bid’ah pada Syara’ menurut Ibnu Rajab adalah :
“Perkara baru yang tidak ada dasar dalam syari’at yang menunjuki atas nya, & adapun perkara baru yang ada dasar dari syara’ yang menunjuki atas nya, maka ia bukan Bid’ah pada Syara’, sekalipun Bid’ah pada Lughat”.
Menurut Ibnu Rajab, maka Bid’ah Hasanah adalah bukan pembagian dari Bid’ah pada Syara’, tapi Bid’ah Hasanah adalah Bid’ah Lughawi, karena maksud Bid’ah pada Syara’ yang seperti ini tidak mungkin terbagi kepada Hasanah (baik), sesuatu yang tidak ada dasar dari Syara’ otomatis Buruk atau sesat. Maka sekalipun berbeda cara memahami Bid’ah pada Syara’ & berbeda dalam mengkategorikan Bid’ah Hasanah, tapi tidak berpengaruh pada legalitas Bid’ah Hasanah dalam Agama,
v Imam Qurtuby :
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i ), maka kukatakan bahwa makna hadits NabiJyang berbunyi :
“Seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, & semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), Yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an & Sunnah RasulJ, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya :
“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya & pahala orang yang mengikutinya & tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, & barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya & dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) & hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik & bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
v Imam Suyuthi:
“Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allahl :
“… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25)
& kenyataannya tidak segalanya hancur,
atau pula ayat :“Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin & manusia keseluruhannya” (QS Assajdah-13) . dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin & orang dhalim
atau hadits :
“aku & hari kiamat bagaikan kedua jari ini”
& kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya RasulJ. (Syarah Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
v Imam Ghazali:
"Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Terawih secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang & tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah RasulullahJ atau yang bisa merubah Sunnah itu”.(Ihya Ulumuddin 1/276)
v Imam Ibnu Hajar Asqalani mengatakan:
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah.
Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”(Fathul Bari bi Syarah Shahihul Bukhari,).
v Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy :
" makna “maa laisa minhu” ( sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”. (Fathul Mubin, Al-‘Amirah As Syarfiah, Mesir, Hal. 94)
Masih banyak Ulama-ulama besar mazhab 4 yang mendefinisikan atau mengikuti kepahaman Bid’ah sebagai atau terbagi menjadi Bid’ah yang baik dan buruk, tidak mutlak sesuatu yang baru itu adalah sesat selama mengikuti/sesuai syariah maka itu adalah Bid’ah yang baik,
Ulama-ulama itu diantaranya :
Imam Ibnu Abdilbarr, Ibnu Al Jauzi, Ibnu Hazm Az Zahiri Al Andalusi , Imam Ibnu Al Arabi, Imam Al Aini, Al Hafidh Imam Ibnu Atsir, Syaikh Wahbah Azzuhaili (Pakar Ushul Fiqih), Syaikh Ahmad Shawiy, Abu SyamahAl Qarafi & Az-Zarqani, As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki, Al-Hasani,,Imam as-Safaraini
Apa yang tersisa dari ilmu islam jika pendapat mereka semua di ketepikan? sementara sebagian dari mereka diliputi ilmu yang luas, mereka hidup di mana bumi masih di penuhi hadits.
RasulullahJ Bersabda :
“Ulama adalah pewaris para nabi.”
(HR At-Tirmidzi)
B. TAMBAHAN DZIKIR
Pada dasarnya menambah zikir dalam dalam shalat selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :
“Pada suatu hari, kami shalat dibelakang NabiJ Manakala RasulullahJ mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Samiallahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala RasulullahJ selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. RasulullahJ bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari)
v Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil ) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”. (Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287)
Dalam Mazhab Syafi’I, Hanafi dan Maliki, berdzikir ketika shalat Tidak wajib
C. PELAFALAN NIAT
Niat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah menurut Jumhur ( mayoritas ) Ulama dalam Mazhab 4, meskipun dalam mazhab Maliki Sunnahnya apabila terdapat keragu-raguan (was-was) begitupula dalam mazhab hanafi ada ulama yang menghukumnya sunnah apabila ragu-ragu namun sebagian besar Fuqaha-nya tetap mensunnahkan apabila tanpa keraguanpun. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana RasulullahJ dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu pada ibadah Haji.
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar RasulullahJ mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar RasulullahJ mengucapkan “Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
Memang, ketika RasulullahJ melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah. Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang ), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji”
Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh, Seperti dikatakan Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in . Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh RasulullahJ. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.
D. MEMBACA “ROBIGHFIRLI” SEBELUM
“AMIN”
Sebagian masyarakat dalam Mazhab Syafi’i membaca “Robighfirli” sebelum bacaan amin, hal ini bukanlah tanpa dasar dan alasan melainkan berdasarkan hadits hasan yang dikutip para ulama seperti Al-Bakry al-Damyathi, Ali Syibran al-Malusy dari kitab Tuhfah al-Muhtaj oleh Ibnu Hajar al-Haitamy.
Al-Bakry al-Damyathi mengatakan bahwa mengucapkan “rabbighfirli” setelah “waladhdhallin” adalah sunnah berdasarkan hadits hasan, Selanjutnya Al-Damyathi mengutip pernyataan Ali Syibran al-Malusy, yaitu :
“ Sepatutnya seandainya menambah wa liwalidaiya wa lijami’ul muslimin, maka tidak mudharat pula”
Hadits di atas telah disebut oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Kitab beliau, Tuhfah al-Muhtaj dengan penilaian hadits sebagai hadits hasan.
Alwy Abu Bakar Muhammad al-Saqaf juga mengatakan, bahwa sunnah membaca rabbighfiirli (wa liwalidayya) sebelum membaca amin adalah karena mengharap pembacaan amin serentak dengan amin para ahli langit, sebagaimana hadits Syaikhain : “Apabila imam membaca amin, maka bacalah amin. Barangsiapa yang serentak aminnya dengan amin para malaikat, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Bukhari 5 dan Muslim 6 )
Hadits membaca rabbighfirlii setelah wa laadhdhallin diriwayat oleh al-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. XXII, Hal. 42, :
“Sesungguhnya Wail bin Hujr mendengar RasulullahJ ketika mengatakan ghairil maghdhu bi ‘alaihim wa laaddhallin, mengatakan rabbighfirlii amiin (HR Thabrani)
Kemudian perlu dicatat bahwa hadits di atas juga telah didukung (‘azhid) oleh fatwa-fatwa yang diriwayatkan dari para Tabi’in, misalnya :
1. Rabi’ bin Khaitsam :
“ Dari Abu Ya’la, berkata, adalah Rabi’ bin Khaitsam apabila imam mengatakan ghairil maghdhu bi ‘alaihim wa laaddhallin, mengatakan Allahummaghfirlii, amiin (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Dalam riwayat lain dari Bakr bin ‘Amir dari Rabi’ bin Khaitsam mengatakan :
Apabila imam mengatakan ghairil maghdhu bi ‘alaihim wa laaddhallin, maka mintalah pertolongan kepada Allah dengan apa yang kamu inginkan. (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
2. Ibrahim al-Nakha’i
Dari Abu Hamzah dari Ibrahim mengatakan, dianjurkan apabila imam mengatakan ghairil maghdhu bi ‘alaihim wa laaddhallin, dikatakan Allahummaghfirlii, amiin (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
3. Abu Abdullah al-Jadaliy :
Dari al-Hakam, berkata aku shalat di belakang Abu Abdullah al-Jadaliy, maka manakala selesai mengatakan ghairil maghdhu bi ‘alaihim wa laaddhallin, beliau mengatakan, kafaa billah hadiya wa nashiraa. (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
4. Mujahid :
Dari Yunus dari Mujahid, mengatakan, apabila imam mengatakan, ghairil maghdhu bi ‘alaihim wa laaddhallin, maka katakanlah Inni as-aluka al-Jannah wa a’uzubika minannar. (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Kalaupun membaca rabbighfirlii setelah ghairil maghdhu bi ‘alaihim wa laaddhallin dalam shalat tidak ada hadits maqbul (sekali lagi, kalau dianggap tidak ada hadits maqbul), maka bacaan tersebut dapat dibenarkan, karena menambah zikir dalam dalam shalat selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan.
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“ Dijadikan dalil dengan hadits tersebut (hadits riwayat Rifa’ah), kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”.
Berdasarkan hadits ini juga, kita dapat memaklumi ada sebagian ulama yang menambah “wa liwalidaiyya” ataupun dzikir lain setelah bacaan wa laaddhallin.
E. TAMBAHAN “WABIHAMDIHI” DALAM RUKU DAN SUJUD
Adanya tuduhan menyalahi RasulullahJ terhadap penambahan bacaan “wa bihamdihi” setelah “Subhana Rabbiyal ‘adzhimi “ adalah pendapat yang asal dan serampangan, Penambahan tersebut merupakan pendapat mu'tamad dalam Mazhab syafi'i. Ulama' yang menganjurkan tambahan wabihamdih adalah Imam Ghozzali, Al Qodhi Abu Toyyib, Al Qodhi Husain, dll
- kitab majmu' (3/384)
- kitab tuhfatul muhtaj imam ibnu hajar (2/76) juga ada tambahan wabihamdih
- kitab nihayatul muhtaj dan hasiyah sibromalisi (1/500)
- Bacaan dengan tambahan ‘wa bihamdihi’ diriwayatkan dalam hadits dengan jalur periwayatan yang banyak, sehingga Imam Asy-Syaukani berkata bahwa riwayat-riwayat yang banyak itu saling menguatkan.” (Fiqih Sunnah I:137)
Tambahan “wabihamdihi” tidak hanya disunnahkan dalam Mazhab Syafi’i tapi juga dalam Mazhab Maliki & Hambali
F. PENAMBAHAN “SAYYIDINA” DALAM SHOLAWAT
Syafi’iyah & Hanafiyah berpendapat disunnahkan membaca “sayyidina” kepada nabi MuhammadJ dalam membaca shalawat Ibrahimiyyah. Di dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar, kitab Hasyiyah Al-Bajuri dan kitab Syarhu Al-Hadhramiyah disebutkan bahwa Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah menyunnahkan penggunaan kata [sayyidina] saat mengucapkan shalawat kepada nabiJ (shalawat Ibrahimiyah). Landasannya adalah bahwa penambahan kabar atas apa yang sesungguhnya memang ada merupakan bagian dari suluk adab. Jadi lebih utama digunakan dari pada ditinggalkan.
Sedangkan hadits yang menyebutkan bahwa RasulullahJ berkata, “La tusawwiduni fi al-shala `Janganlah kamu memanggilku dengan sebuatan sayyidina di dalam shalat`, adalah hadits maudhu` (palsu) dan dusta. (lihat kitab Asna Al-Mathalib fi Ahaditsi Mukhtalaf Al-Marathib karya Al-Hut Al-Bairuti halaman 253).
Ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnah menambah perkataan sayyidina dalam shalawat dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi, al-Halaby, dan lainnya.[Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, 86].
Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan : “Berkata pengarang kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan sayyidina.”[ Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah, Maktabah Syamilah,]
Pendapat yang senada ini juga dapat dilihat dalam Hasyiah Rad al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin, juga dari kalangan Hanafiah.( Ibnu Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513)
Dalil-dalil fatwa ini, antara lain :
Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi MuhammadJ. Karena itu, Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
“Pengucapan “sayyidina” merupakan sikap sopan santun.” Pendapat ini didasarkan pada Sabda RasulullahJ:
Artinya : Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim).
al-Nawawi dalam mensyarahkan hadits di atas, yaitu :
“Adapun sabda RasulullahJ pada hari kiamat, sedangkan beliau adalah sayyid, baik di dunia maupun di akhirat, sebab dikaitkan demikian adalah karena nyata sayyid beliau itu bagi setiap orang, tidak ada yang berusaha mencegah, menentang dan seumpamanya, berbeda halnya di dunia, maka ada dakwaan dari penguasa kaum kafir dan dakwaan orang musyrik”.
Apabila kita lebih suka tidak mengerjakan sesuatu yang berada dalam ikhtilaf, atau masih belum ada keyakinan yang mutlak akan ke'absahan'nya. itu hak kita. Karena ikhtilaf ulama tidak hanya dalam hal sunnah saja akan tetapi dalam hal wajib juga ada. Perlu di ingat ini bukanlah fardhu tapi sunnah, menggunakan atau tidak, sholat Insha Allah tetap sah dan baik. Wallahu a’lam bish-shawab
BAB
HAL-HAL YANG DI KRITISI / DITUDUHKAN BID’AH (DHOLALAH)
A. QUNUT DALAM SHOLAT SUBUH
Dalam Mazhab Syafi’i sunnah berdoa qunut pada shalat subuh di I’tidal rakaat kedua dalam shalat fardu lain juga sunnah apabila ada bencana yang menimpa umat muslim. Tersebut dalam kitab “Al Majmu”, Syarah Muhadzab, karangan Imam Nawawi disebutkan :
“Dalam Mazhab kita (Mazhab Syafi’i) adalah sunnah hukumnya membaca do’a qunut dalam sholat subuh itu, baik ketika turunnya bala atau tidak. Ini adalah pendapat yang banyak dari ulama ulama salaf, atau katakanlah yang paling banyak, dan juga pendapat ulama-ulama yang dibelakang ulama-ulama salaf itu. Diantara yang berpendapat serupa ini adalah Saidina Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman, Ali, Ibnu Abbas, Bara’ bin ‘Azib Rda”.
(Al Majmu’ syarah Muhadzab III halaman 504).
Dalam Mazhab Maliki: Sunnah membaca qunut pada shalat subuh saja dengan suara rendah dibaca lebih utama sebelum ruku, makruh pada shalat lain,
Hambali: Sunnah qunut dalam shalat witir pada rakaat pertama sepanjang tahun, witir pada separuh kedua bulan ramadhan dan juga pada shalat fardu apabila ada bencana yang menimpa umat muslim
Hanafiah: Sunnah doa qunut dalam shalat witir
B. MENGANGKAT TANGAN SAAT BERDOA DAN MENGUSAP MUKA SETELAH BERDOA / SHOLAT
Dalam kitab Bulughul Maram dikatakan hadis mengusap muka setelah berdoa adalah hadits hasan dan bukan hadits dhaif. Tepatnya ada di halaman 312 hadits ke 1581 , kitab Bulughul Maram karangan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani :
“Dan dari Umar Ra berkata : RasulullahJ apabila memanjangkan (mengangkat) kedua tangannya di dalam berdoa beliau tidak mengembalikan (menurunkan) kedua tangannya sehigga beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ” Dikeluarkan oleh Imam Ahmad .
Hadits dari Ibnu Abbas Ra diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya, menyimpulkan dan memutuskan sesungguhnya hadits tersebut hadits hasan
Jelaslah di urutan hadits selanjutnya yakni hadits ke 1582 ada hadits serupa dari Ibnu Abbas Ra dan riwayatnya Abu Daud , dan haditsnya adalah hasan bukan dlaif seperti yang dikatakan sebagian orang, meskipun sesungguhnya dalam fadhilah amal hadits dhoif baik untuk diamalkan menurut Mayoritas Ulama.
Dari hadits tersebut juga bisa ditarik kesimpulan bahwa NabiJ Mengangkat tangan ketika berdoa dan setelah itu beliau mengusap wajah dengan kedua tangannya.
Adapun mengenai hadits mengangkat tangan ketika berdoa , disebutkan juga dalam kitab bulughul maram hadits ke 1580 :
“Sesungguhnya Rabb-mu (Allahl) adalah maha pemalu lagi maha mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan hampa“
Hadits tersebut dari Salman Alfarisi. Jelaslah bahwa berdoa mengangkat kedua tangan bukanlah bid’ah (dholalah) akan tetapi sunnah seperti tercantum di dalam kitab bulughul maram hal 311.
Sholat adalah sekumpulan doa, maka dengan menyandarkan pada hadis-hadis diatas, bolehlah menyapukan muka/wajah setelah sholat.
C. BERSALAMAN SETELAH SHOLAT
Bersalaman (Mushafahah) setelah sholat bukanlah karena adat orang Indonesia atau “ciptaan” ustadz-ustadz Indonesia akan tetapi memang dianjurkan oleh para ulama.
v Imam Izzuddin bin Abdissalam (salah satu ulama besar mazhab Syafi’i) mengatakan :
“Bersalaman setelah shalat (Mushafahah) adalah masuk dalam kategori bid’ah yang diperbolehkan”
v Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu:
”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah shalat shubuh & ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam rahimahullah Ta’ala,’ Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan makruh & tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”
Dengan rincian hukum sebagai berikut: Jika 2 orang yang bersalaman sudah bertemu sebelum shalat maka hukum bersalamannya mubah saja, dianjurkan saja, namun jika keduanya belum bertemu sebelum shalat berjamaah hukum bersalamannya menjadi sunnah, sangat dianjurkan. ( Fatâwî al-Imâm an-Nawâwî)
Bukan hanya ulama Syafi’iyah saja yang memahami istilah yang digunakan oleh Imam Izzuddin. As Safarini seorang ulama Mazhab Hanbali, memahami bahwa Imam Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab, dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di dua waktu tersebut adalah bid’ah (Dholalah) yang tidak dilakukan oleh RasulJ dan tidak disunnahkan oleh seorang ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang jelas dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As Syafi’iyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah bid’ah mubah (boleh)”
v Imam al-Thahawi:
“Bahwa bersalaman setelah shalat adalah sunnah & begitu juga setiap berjumpa dengan sesama Muslim.”
v Syeikh Abdul Ghani an-Nabilisi :
“ Mushafahah setelah shalat masuk dalam keumuman hadits tentang mushafahah secara mutlak”.
v Imam Muhyidin an-Nawawi:
“Sesungguhnya mushafahah setelah shalat & mendoakan saudara muslim supaya shalatnya diterima oleh Allahl, dengan ungkapan (semoga Allahlmenerima shalat anda), adalah di dalamnya terdapat kebaikan yang besar & menambah kedekatan (antar sesama) & menjadi sabab eratnya hati & menampakkan kesatuan antar sesama umat Islam.”
Dalil -dalilnya:
Diriwayatkan dari al-Barra’ dari Azib r.a. RasulullahJbersabda, “Tidaklah ada dua orang muslim yang saling bertemu kemudian saling bersalaman kecuali dosa-dosa keduanya diampuni oleh Allahl sebelum berpisah.” (H.R. Abu Dawud)
Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad bahwa ia shalat subuh bersama RasulallahJ, lalu setelah shalat para jamaah berebut untuk menyalami NabiJ lalu mereka mengusapkan ke wajahnya masing-masing, & begitu juga saya menyalami tangan NabiJ lalu saya usapkan ke wajah saya. (H.R. Bukhori 4/188 (3553).
Dari Qatadah,”Aku berkata kepada Anas bin Malik,’Apakah bersalaman dilakukan oleh para sahabat NAbi J,” Anas menjawab,”Ya.” (HR. Bukhori & Tirmidzi)
Hadits-hadits di atas adalah menunjuk pada mushafahah secara umum, yang meliputi baik mushafahah setelah shalat maupun di luar setelah shalat.Jadi pada intinya mushafahah itu benar-benar disyariatkan baik setelah shalat maupun dalam waktu-waktu yang lainnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadits di atas.Pendapat para ulama.
D. SHOLAT QOBLIYAH JUM’AT
Perkara qabliyah jumat ini sejak lama sudah ada perselisihan pendapatnya, yakni antara Jumhur ulama dengan Mazhab imam Ahmad bin Hanbal. Jumhur merujuk kepada beberapa teks yang menginformasikan itu, bahwa NabiJ & sahabat melakukan qabliyah. Imam Ahmad memahami itu berbeda, apa yang dikerjakan bukan qabliyah jumat, akan tetapi itu adalah shalat sunnah zawal.
Imam Ahmad hidup di masa yang terakhir Imam 4. Masa beliau hidup, Imam Abu Hanifah sudah wafat, Imam Malik juga sudah wafat, dan Imam Syafi'i juga sudah lebih banyak pengikutnya. Artinya Imam Ahmad hidup di masa di mana pendapat bahwa adanya qabliyah jumat itu sudah didirikan dan diketahui secara umum oleh masyarakat. Tapi tidak pernah ada ucapan dari Imam Ahmad bahwa shalat qabliyah jumat itu bid'ah yang terlarang dilaksanakan dan yang mengerjakannya mendapatkan dosa. Tidak ada. Kita tidak pernah temukan itu.
Adapun dalil yang menyatakan dianjurkannya sholat sunnah qabliyah Jum'at:
"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat". (HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shohih dari hadist Abdullah Bin Zubair). Hadist ini secara umum menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah tanpa terkecuali shalat Jum'at.
"Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al Ghathafani datang (ke masjid), sedangkan RasulullahJ sedang berkhuthbah. Lalu NabiJ bertanya: Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. NabiJ bersabda: Shalatlah dua raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah: 1104).
Berdasar dalil-dalil tersebut, Imam al Nawawi menegaskan dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab:
“(Cabang). Menerangkan tentang sunnah shalat Jum’at sebelumnya dan sesudahnya. Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua raka’at sebelum dan sesudah shalat jum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat raka’at sebelum dan sesudah shalat Jum’at”. (Al Majmu’, Juz 4: 9)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathu Al Bariy 2/426 berkata bahwa hadits paling kuat yang dapat dijadikan pegangan disyariatkannya 2 rakaat sebelum Jum'at, adalah keumuman hadits yang menurut Ibnu Hibban sohih dari hadits Abdulloh bin Az-Zubair secara marfu' (hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi J):
"Tidak ada shalat fardhu (wajib) kecuali di antara dua sisinya ada dua rakaat shalat". (HR. Ibnu Hibban dalam Shohihnya, Al-Ihsan, 4/77-78)
Dan yang sepertinya, hadits Abdulloh bin Mughoffal yang telah lewat dalam waktu shalat maghrib:
"Antara tiap dua adzan ada shalat (sunnah)". (Lihatlah Al-Ihsan bitartiibi Ibni Hibban, 2/48-49 dan 7/523.)
Ibnu Al-Arobiy Al-Malikiy dalam syarah At-Tirmidziy 2/132 berkata: "Dan adapun shalat sebelumnya, yakni Jum'at, maka sesungguhnya boleh".
Al-Hafizh Zainuddin Al-Iroqiy dalam Syarah At-Tirmidziy telah menyebutkan, sesungguhnya Al-Khul'iy meriwayatkan dalam fawaidnya dari Ali bin Abu Tholib r.a.,
"Bahwa sesungguhnya RasulullahJ telah shalat sebelum Jum'at empat rakaat dan sesudahnya empat rakaat". Sanadnya bagus sebagaimana yang telah disebutkan oleh Waliyuddin Al-Iroqiy (Lihat Thorhu At-Tastriib fii Syarhi At Taqriib, 3/42).
"Bahwa sesungguhnya Ibnu Mas'ud r.a. pernah shalat sebelum Jum'at 4 rakaat dan sesudahnya 4 rakaat" (Mushonnaf Abdurrozak, 3/247).
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkishu Al-Habiir, 2/74 mengatakan hadits ini sohih. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 1/463 telah meriwayatkan bahwa sesungguhnya Ibnu Mas'ud telah shalat sebelum Jum'at 4 rakaat.
Abu Daud, Ibnu Hibban dan selain mereka meriwayatkan dari Nafi' dia berkata: "Ibnu Umar pernah memperpanjang shalat sebelum Jum'at dan shalat 2 rakaat sesudahnya di rumahnya. Dia menceritakan bahwa sesungguhnya RasulullahJ pernah melakukan hal itu". (HR. Abu Daud, Ibnu Hibban dalam shohihnya, Al-Ihsan dan Ibn Khuzaimah dalam shohihnya, serta Ahmad dalam musnadnya, 2/103).
Az-Zaila'iy berkata (dalam Nasbu Ar-Royan Liahaditsi Al-Hidayah, 2/207):
"Asy-Saikh Muhyiddin An-Nawawiy dalam bab ini tidak pernah meyebutkan selain hadits Abdulloh bin Mughoffal, bahwa sesungguhnya NabiJbersabda:"Antara setiap dua adzan ada shalat". (H.R. Bukhoriy dan Muslim).
Dan lain-lain masih banyak lagi…
E. BERAMAL DENGAN HADITS DHOIF
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perilaku , ketetapan dan persetujuan dari Nabi MuhammadJ yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.
Secara umum pengertian Hadits RasulullahJ adalah catatan tentang:
Segala sesuatu yang dikatakan oleh RasulullahJ.
Segala sesutu yang dilakukan oleh RasulullahJ.
Perkataan atau perilaku Sahabat yang disetujui atau didiamkan saja oleh RasulullahJ.
Perkataan atau perilaku Sahabat yang dilarang atau dikomentari negatif oleh RasulullahJ.
Hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman
RasulullahJ, ilmu hadits adalah Bid'ah hasanah, Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat. Hal ini terjadi karena nabiJ melarang menuliskan hadits-hadits. RasulJ bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur’an! Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).
RasulullahJ, ilmu hadits adalah Bid'ah hasanah, Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat. Hal ini terjadi karena nabiJ melarang menuliskan hadits-hadits. RasulJ bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur’an! Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).
Dengan demikian, maka hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai khawatir akan perkembangan hadits. Akhirnya diambillah tindakan bid’ah hasanah oleh Khalifah Umar dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits NabiJ, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang dilarang oleh NabiJ. Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta’biin, telah sepakat bahwa ada bid’ah yang baik yang akan diberi pahala oleh Allahl bagi yang melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan hadits.
Ditinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih, hasan, dan dhoif.
v Hadits Shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat).
v Hadits Hasan, adalah hadits yang sanadnya bersambung, banyak sumbernya atau jalannya diriwayatkan oleh perawi yang adil tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz, namun tidak sempurna hafalannya
v Hadits Dhoif (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan. lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, atau tidak bersambung (terputus) sanadnya atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan ada cacat.
Hadits dho’if tidaklah sama dengan hadits palsu. Hadits dho’if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah J, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat. Hanya saja Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi tetap bukanlah hadits palsu, karena hadits palsu (Maudlu) dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil.
Maka tidak sepantasnya kita menggolongkan hadits dhaif sebagai hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan RasulJ, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan RasulJ dan hukumnya kufur.
Melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti melarang sebagian ucapan / sunnah RasulJ, dan mendustakan ucapan RasulJ.
RasulullahJ bersabda : "Sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229),
Penetapan tiap Muhaddits bisa saja berbeda dalam penetapan derajat suatu hadits apakah sahih, hasan atau dhoif, dan mayoritas ulama beranggapan hadits dhoif sekalipun baik untuk diamalkan selama dalam konteks fadhilah a’mal (keutamaan beramal), yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allahl)
Hal ini adalah pendapat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah dari kalangan ahli hadits, fuqaha, ahli ushul fiqih dan lain-lain. Sebagaimana diterangkan Imam Nawawi di dalam kitab “Al-Adzkar”, cetakan pertama “Maktabah Tijariyah al-Kubra”.
“Para ulama hadits dan fiqih serta ulama lainnya berkata: Diperbolehkan bahkan disunnahkan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal, baik berupa anjuran maupun larangan selama hadits itu bukan hadits maudhu”.
Imam Nawawi mengatakan bahwa pendapat ini menjadi kesepakatan di antara para ulama, demikian pula Syaikh Ali Al-Qari dan Ibnu Hajar Al-Haitami. Bahkan beberapa ulama seperti Imam Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain. mengatakan bahwa hadis dhaif boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardhu maupun wajib dengan syarat tidak ditemukan hadis lain dalam bab tersebut.
Ibnu Hajar Al-Haitami lebih mengarahkan pada pengamalan hadis dhaif dalam masalah Fadhilah a’mal, beliau menyebutkan:
“Para ulama telah bersepakat mengenai bolehnya mengamalkan hadis dhaif dalam hal keutamaan-keutamaan amal, karena andaikan hadis tersebut ternyata benar keberadaannya (sahih), maka dengan mengamalkannya berarti hak-hak hadis tersebut telah terpenuhi. Kalaupun tidak demikian maka hal tersebut tidak akan menimbulkan pengaruh buruk apapun seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu atau hilangnya hak orang lain”.
Imam Hambali, memutuskan bisa mengambil hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika tidak didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi’i memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul a’mal). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.
F. KESIMPULAN
Menyikapi “perbedaan” tersebut diatas, mungkin akan menimbulkan sebuah pertanyaan : “Mengapa bisa terjadi berbagai macam tuduhan tidak baik terhadap amalan – amalan tersebut yang notabene di lakukan dan dianjurkan oleh ulama-ulama besar ?” .
kita benar-benar mentafakuri tentang keberadaan Mazhab dan kerisauan ulama akan pentingnya Mazhab bagi umat, serta ikhtilaf Bersatu dalam akidah. Berjamaah dalam ibadah. Toleransi dalam khilafiyah & Kerjasama dalam dakwah. KH. Zezen Zainal Abidin Bzul Asyhab.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS. An-Nahl:125)
“Ilmu Menyeru orang-orang khawas dengan hikmah & menyeru orang-orang awam dengan nasihat-nasihat serta para pembangkang dengan bantahan. Maka, ia menyelamatkan dirinya dan orang lain, dan inilah kesempurnaan manusia” .
( Imam Al-Ghazali)
Lanjut ke : BAGIAN KETIGA TATA CARA IBADAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar