Rabu, 26 Juli 2017

Pentingnya Bermazhab : Bagian Pertama Memahami Mazhab



BAGIAN PERTAMA
MEMAHAMI MAZHAB

BAB MAZHAB

A.   PENDAHULUAN

5
Rasulullah J bersabda :
Sesungguhnya  yang pertama kali yang dihisab (ditanya dan diminta pertanggungjawaban) atas amalan seorang hamba di hari kiamat kelak adalah shalatnya. Bila shalatnya baik maka beruntunglah ia dan bilamana shalatnya rusak, sungguh kerugian menimpanya.”
(HR. An Nasa'i ,  Tirmidzi, dan lain-lain dengan lafaz yang lebih lengkap  dan panjang)

Mempelajari hukum-hukum sholat adalah fardhu 'ain bagi setiap muslim. Sebab, dengan mengetahuinya, kita dapat mendirikan sholat dengan baik dan benar serta berusaha untuk mencapai kesempurnaan. Sementara jika sholatnya kurang benar atau rusak salah satu syarat dan rukunnya, maka sholat tersebut bisa rusak bahkan tertolak dan tidak akan diterima oleh Allahl.
Seringkali sebuah hadits dishahihkan oleh seorang Ahli Haddits namun muhaddits lainnya menolak keshahihannya ataupun sebaliknya. Sayangnya lagi, justru yang kasusnya seperti ini banyak sekali jumlahnya. Melebihi hadits yang sudah disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim, dan yang sudah dishahihkan itu pun ternyata bukan semuanya tentang shalat. Kalau ada sebagiannya tentang shalat, ternyata isinya juga seringkali saling bertentangan.
Semua kenyataan di atas telah memustahilkan keseragaman dalam aturan shalat. Semua dalil yang kita miliki telah membawa kita kepada perbedaan bentuk teknis shalat. Meski setiap kita telah bertekad untuk mengikuti tata cara shalat RasulullahJ, tetapi hasilnya tidak pernah ada yang bisa dipastikan 100% kesesuaiannya. Sebaliknya, kita juga tidak bisa memvonis bahwa yang berbeda dengannya pasti 100% tidak sesuai atau salah, Boleh jadi menurut kalangan mazhab A, tata cara shalat mereka adalah yang paling shahih dan paling sesuai dengan RasulullahJ. Namun bisa saja menurut mazhab B, versi merekalah yang paling sesuai dengan RasulullahJ.
Contohnya pada hadits shahih yang menyebutkan bahwa nabiJ saat berdiri dalam shalat dengan tangannya diletakkan di bawah pusar. Lalu ada lagi hadits shahih lainnya yang justru menyebutkan tangannya di atas pusar (di perut)  dan begitulah seterusnya.
Melalui ikhtisar/ringkasan  ini diharapkan kita dapat mengetahui rukun,  sunnah, hal-hal yang dapat membatalkan,  tata cara seputar wudhu,  sholat & lain-lain,  Selain daripada itu ringkasan ini juga ditujukan untuk menjelaskan pengertian dan pentingnya bermazhab juga menjawab kerisauan mengenai tata cara ibadah yang dibuat bingung karena banyaknya variasi (perbedaan), tuduhan banyaknya melakukan kesalahan dalam sholat, tuduhan shalat yang tidak sesuai sunnah, melakukan bid’ah, taqlid buta dan lain sebagainya.
Mudah-mudahan dengan ini kita akan mampu menyadari adanya perbedaan pendapat tersebut dan selanjutnya bisa mentolelir, menghargai dan menghormati umat lain yang beribadah dengan “cara” yang berbeda dengannya, supaya dapat tercipta kehidupan umat islam yang damai dengan menjunjung tinggi solidaritas tanpa memperpanjang masalah khilafiyah yang masing masing telah memiliki pedoman dari al-qur’an dan hadist yang kuat.
Menjelaskan cara beribadah sesuai Fiqih Mazhab (Syafi’i) bukan berarti mengajarkan fanatisme mazhab bukan pula berarti Ibadah berdasarkan Tata-caranya Imam Syafi’i  semata akan tetapi Sholatnya/wudhunya RasulullahJ melalui tuntunan/penjelasan Imam Syafi’i  dan para ulama syafi’iyah (mazhab syafi’i) agar lebih mudah dipahami dan dilakukan umat muslim dalam beribadah, Yang tentunya berdasarkan petunjuk yang shoheh dan dapat dipertanggungjawabkan.

 B.     MENGENAL  ARTI  MAZHAB

Banyak orang salah sangka ataupun digiring pada prasangka bahwa adanya mazhab fiqih itu adalah kesalahan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan/diajarkan RasulullahJ. Sehingga ada sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab bahkan ada yang sampai  anti mazhab. Penggambaran yang absurd tentang mazhab  di masyarakat sekarang ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih dan juga pengaruh dari segolongan orang yang memang anti mazhab dalam menyebarkan fahamnya.
Mengikuti pendapat suatu mazhab dalam hal peribadatan bukanlah merupakan suatu hal yang tercela, kuno, bukan pula bertaqlid buta segalanya kepada manusia, dimana manusia itu bisa saja benar dan bisa saja salah.
Mazhab merupakan solusi bagi umat islam yang merupakan metodologi yang sangat diperlukan dalam memahami  agama, mengingat :

Di dalam Al-Quran dan Sunnah terdapat banyak teks yang belum jelas dan bisa mengandung berbagai macam penafsiran yang tidak mudah di pahami dan dilaksanakan oleh awam,

ga umat islam lebih mudah, efektif dan efisien dalam menjalankan agama/peribadatannya tanpa takut “tersesat” . untuk lebih memahami makna dan pentingnya dalam bermazhab maka terlebih dahulu kita harus mengenal pengertian Mazhab.

Mazhab ialah pendapat seorang ulama mujtahid / hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Muthlaq) tentang hukum sesuatu masalah yang belum ditegaskan oleh nashNash ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yg dimaksud secara jelas (sharih)  dan pasti, tidak mengandung kemungkinan makna lain (ihtimal).
Karena itu, penting untuk dipelajari, dan untuk diketahui –agar tidak ada yang salah praduga dan tuduhan mengada-adakan syariat baru lagi jika melihat adanya perbedaan-  bahwa dalam syariah ini ada masalah-masalah yang sandarannya dalilnya itu Qath'iy  di mana tidak boleh ada di dalamnya perbedaan. Dan ada juga yang dalilnya Dzanniy  yang mana di dalamnya terdapat perbedaan yang terbuka lebar.
Jadi bisa dikerucutkan bahwa syariah ini, dalil-dalilnya terdiri dari 2 jenis, yakni; [1] Qath'iy, dan [2] Dzanniy. Dan ini juga lah Garis Pembatas antara syariah dan fiqih.

Syariah itu sudah pasti dalil-dalilnya bersifat Qath'iydan fiqih tidak mungkin disebut fiqih kecuali kalau dalilnya itu Dzanniy.

·     Qath'iy adalah teks yang Pasti (tidak mungkin di dalamnya ada perbedaan), karena memang teks tersebut tidak punya arti bersayap dan dilalah (petunjuk lafaz)-nya pasti. Sedangkan

·     Dzanniy adalah teks syariah yang belum pasti, masih mengundang tanda tanya, dan juga perlu penafsiran lebih dalam untuk memahaminya. Bisa jadi karena memang ada ayat atau hadits yang mempunyai kandungan makna berbeda padahal masih dalam satu masalah, atau bisa jadi teks tersebut bersayap, punya arti lebih dari satu makna.
Dalam prakteknya, ulama tidak memperkenankan siapapun untuk mengingkari, mengelak, serta menutup mata bahkan menyalahkan orang lain yang berbeda, padahal masalahnya adalah masalah yang bersifat Dzanniy. Sebaliknya, kita tidak diperkenan dalam masalah yang sifatnya Qath'iy untuk mengatakan: "madzhabnya Fulan shalat subuh 2 rakaat ", atau: "menurut madzhab Fulan, seorang muslim membayar zakat fitrah!". Tidak bisa dikatakan demikian! Karena itu adalah masalah yang qath'iy yang sudah tidak ada lagi istilah mazhab, tapi itu sudah masuk ke dalam masalah syariah yang disepakati.
Dari itu semua, menjadi terlihat sekali ketergantungan kita kepada ulama yang memang ahli dan mumpuni dalam bidang syariah ini. karena kita tidak mungkin bisa tahu mana ranah qath'iyyat yang tidak boleh ada perbedaan di dalamnya, dan mana ranah Dzanniyat yang masing-masing kita harus berlapang dada dengan adanya perbedaan dari saudra muslim lainnya.
Dalam teks-teks dzanniy inilah para ulama fiqih bekerja, meneliti, menganalisa, lalu lahirlah Mazhab-Mazhab yang ada seperti sekarang ini. dan apa yang sudah mereka kerjakan bukanlah pekerjaan asal jadi, perkiraan, tebak-tebakan, tanpa dalil atau berdasar hawa nafsu, melainkan pekerjaan berat penuh tanggung jawab, melingkupi dunia dan akhirat dengan metode yang tidak asal main-main sesuai dengan apa yang disampaikan oleh RasulullahJ:

Di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan  akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.
(HR. Ath-Thabarani).
Satu demi satu ayat Quran ( yang memiliki 6000-an ayat) dibaca, ditelaah, diteliti, dikaji, dibandingkan dengan ayat lainnya, lalu dicoba untuk ditarik kesimpulan hukum yang terkandung di dalamnya. Sedangkan hadits nabawi yang berjumlah Jutaan itu, lebih kompleks lagi menanganinya . Sebab sebelum ditarik kesimpulan hukumnya, hadits-hadits itu masih harus mengalami proses validisasi terlebih dahulu, serta ditetapkan status derajat keshahihannya.
Hasil dari penelusuran panjang baik dari ayat Al-Quran maupun jutaan butir hadits itu kemudian ditulis dengan susunan yang mudah, dengan bahasa yang lebih mudah di pahami, teknis dan komunikatif oleh para ulama mazhab itu. Dengan mengikuti sebuah pola tertentu yang sudah distandarisasi sebelumnya secara ilmiyah.
Ada puluhan bahkan ratusan ulama ahli dan berpengalaman di bidangnya yang bekerja siang dan malam untuk melakukan proses ini sepanjang waktu. Sehingga menghasilkan kesimpulan dan rincian hukum yang sangat detail dan bisa menjawab semua masalah syariah sepanjang zaman. Produknya telah berjasa besar sepanjang perjalanan hidup umat Islam sejak abad kedua hingga abad 15 hijriyah ini. Dan semua itu kita sebut Mazhab (fiqih) !.  Maka dari sini, urgensi mazhab sepertinya sedikit sudah terlihat:

Seandainya tanpa mazhab tersebut, bagaimana kita memahami teks-teks dzanniy tesebut?

Perbedaan di antara Imam Mazhab terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat dzanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi dzanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif),  Al-Qur’an mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran.
Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah (bukan mahrom ) dalam keadaan wudhu’,  kata
 أو لامستم النساء “aw lamastumunnisa” dalam Al-Qur’an An-Nisa ayat 43 terbuka untuk ditafsirkan. Ini menunjukkan boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis, tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu shahih.
( Sebagai catatan bahwa hadits itu berjumlah Jutaan, yang disahihkan oleh Imam Bukhori tanpa pengulangan hanya sekitar 4.000-an saja, Imam Bukhori hidup setelah masa ke 4 Imam mazhab. Imam Ahmad hapal sekitar 1 Juta hadits akan tetapi yang tertuang dalam musnadnya  hanya  sampai hadits  no  27.688 ).
Karena perbedaan pandangan itulah, maka terjadi perbedaan pendapat antara para Imam. Hasilnya dinamakan ijtihad. Ijtihad Imam Syafi’i bisa berbeda dengan ijtihad Imam Hanafi dan Imam lainnya yang menentukan batal atau tidaknya wudhu ketika menyentuh wanita muhrim. Begitupun dalam hal tatacara Ibadah Sholat.

·       Syari’ah tersusun dari teks Qat’iy
·       Fiqih tersusun dari teks Dzanniy. (Ruang lingkup Mazhab)

Contoh praktis:
1.   (a)  Kewajiban puasa Ramadhan (dalilnya qat’i dan inisyari’ah),
(b)  kapan mulai puasa dan kapan akhir Ramadhan itu
        (dalilnya dzanni dan ini fiqh)
Catatan: hadis mengatakan  harus melihat bulan, namun kata “melihat” mengandung berbagai penafsiran.
2.   (a)  membasuh kepala saat berwudhu itu wajib (dalilnya
        qat’i dan ini Syari’ah)
(b)  sampai mana membasuh kepala itu?  (dalilnya dzanni
      dan ini fiqih)
Catatan: …dan Usaplah/Sapulah  Kepalamu…(QS Al-Maidah : 6 )
kata “bi” pada Wamsahuu biru’usikum terbuka utk ditafsirkan apakah sebagian atau seluruh dan darimana batasannya
3.   (a) memulai shalat harus dgn niat (dalilnya qat’i &ini    Syari’ah)
(b)    apakah niat itu dilisankan (dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqih)
Cat: jumhur (Mayoritas) ulama memandang perlunya niat ditegaskan dalam “ushalli” untuk menguatkan  hati sedangkan ulama lain memandang niat dalam hati saja sudah cukup.

Mengatakan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah memang mudah, tetapi dalam kenyataannya, ada banyak masalah yang muncul dan tidak terpikirkan sebelumnya. Dan ujung-ujungnya, tiap orang akan berimprofisasi sendiri-sendiri dalam berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah, bahkan variannya akan menjadi sangat banyak tidak terhingga.
Munculnya aliran menyimpang semacam Ahmadiyah, Al Qiyadah Al Islamiyah, atau Faham yang merujuk pada Al-Qur’an saja dengan mengesampingkan As-Sunnah, Faham yang lebih mengedepankan akal dan logika ketimbang iman,  serta kelompok nyeleneh lainnya -yang jumlahnya puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan baik yang dikenal ataupun tidak-, adalah akibat dari tidak adanya sistem istinbath ( pemahaman, penggalian, dan perumusan) hukum yang baku yang biasa dijalani & dikuasai oleh  para Fuqaha/Mujtahid dalam menarik kesimpulan hukum yang benar dari Al-Quran dan Sunnah.
Umumnya mereka selalu mengklaim merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, bahkan merasa merekalah yang paling benar. Untuk itu dibutuhkan aturan main dalam menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah, agar hasilnya tidak bertentangan dengan esensi keduanya dan disinilah mazhab berperan.
Yang terpenting itu bukanlah "Kembali ke al-Quran dan Sunnah" semata,  akan tetapi yang jauh lebih penting dan harus diperhatikan adalah "Bagaimana Kembali ke al-Qur'an dan Sunnah". Apakah jalan yang ditempuh untuk kembali ke al-Qur'an dan sunnah sudah benar sebagaimana pemahaman salaf, pemahaman Ulama-ulama mu’tabar yang terpercaya dan diakui oleh ratusan bahkan ribuan ulama lainnya? atau memang benar-benar kembali ke al-Qur'an dan Sunnah dengan bebas ?
Sayangnya, dewasa ini ada sebagian saudara-saudara kita yang menganggap bahwa keberadaan Mazhab itu tidak perlu, merepotkan serta membingungkan. Bahkan, yang lebih buruk lagi mereka memiliki persangkaan bahwa  para salaf jahil akan ilmu hadits dan meninggalkan hadits. Ini adalah sebuah tuduhan yang teramat keji kepada para ulama. Seolah-olah ulama mazhab itu jahil karena tidak paham membedakan mana hadits shahih, dhaif & palsu.
Semua ulama mazhab sudah pasti mendahulukan hadits shahih. Bahkan para pendiri dan ulama “senior”nya banyak yang berkapasitas sebagai muhaddits. Tidak ada dasarnya kalau ada ulama, apalagi mujtahid mutlak seperti Imam Asy-Syafi'i misalnya, dikatakan tidak mengerti hadits atau tidak mau menggunakan hadits shahih. Sementara jarak waktu yang memisahkan antara beliau dengan RasulullahJ hanya terpaut 140 tahun saja. Sementara era keemasan para muhadditsin seperti  Al-Bukhari dan lainnya (yang acapkali dijadikan patokan ke sahih-an suatu hadits), baru dimulai sekitar 200 tahun sepeniggal RasulullahJ. Jadi era para imam mazhab yang empat itu lebih dekat ke Rasulullahdari pada era para muhaddits besar.
Dalam bidang penelitian hadits, semakin mundur dan mendekati sumber aslinya, akan semakin baik. Dan semakin menjauhi zaman aslinya tentu akan semakin lemah hasil penelitiannya.

*    Imam Hanafi lahir     :  80 H
*    Imam Maliki lahir     :  93 H
*    Imam Syafi’i lahir      :  150 H
*    Imam Hanbali lahir   :  164 H
*    Imam Bukhari lahir   :  196 H
*    Imam Muslim lahir   :   204 H

-Dan ini juga menjadi jawaban atas pernyataan lucu bahwa ada sebagian saudara-saudara kita ini tidak mempercayai imam 4 mazhab itu karena tidak menggunakan hadits shahih Bukhori ataupun Muslim-.

Selain itu mereka juga berdalih bahwa Imam 4 tersebut tidaklah maksum, namun di sisi lain mereka secara sadar atau tidak, diakui atau tidak, bermazhab pada mazhab baru, yaitu terhadap dirinya ataupun ulama-ulama diluar mazhab 4 –yang mungkin lebih-lebih tidak maksum lagi-.

Karena Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab.

Mereka dengan berani mencoba mentafsiri apa yang ada dalam Al-Quran serta hadits dengan nalarnya sendiri, tanpa perlu merujuk kepada ulama-ulama yang otoritatif dalam hal ini, Atau merujuk pada ulama yang belum teruji sebagai seorang mujtahid (muthlaq), dan menisbatkan pendapat-pendapat mereka kepada al-Quran dan hadits, seakan menunjukan bahwa merekalah yang benar dan orang lain yang berbeda pendapat serta imam-imam Mazhab lain itu kadangkala atau seringkali  tidak bersandar pada hadits shoheh bahkan seringkali pula dituduh tidak berdasar dari al-Quran dan hadits. Hal-hal seperti inilah yang membuat atmosfer keislaman menjadi kacau, lantaran ulama-ulama muktamad serta sumber ilmu syariah dikerdilkan.

Inilah yang menjadi kekhawatiran KH Siradjuddin Abbas  yang di didalam muqaddimah buku “40 masalah agama jilid 1” nya dimana beliau menyayangkan masuknya faham yang merusak persatuan Umat Islam yang sebelumnya kuat dan kokoh, yaitu faham “Modern”, faham “mempermuda” agama, faham “Anti Mazhab”, “Anti Pesantren” dan lain-lain.

Al-Sayyid Alawi 'Abbas al-Malikiy. ayahanda dari ulama masyhur, yakni al-Sayyid Muhammad 'Alawi al-Malikiy dalam mukaddimah Ibanatul-Ahkam menerangkan tentang bagaimana buruknya fenomena awam yang berani-beraninya langsung menggali hukum dari al-Quran dan Hadits dengan menganggap bahwa memang semua orang termasuk awam harus faham dalil, baik al-Quran dan juga hadits (tidak boleh taqlid). Yang pada akhirnya keberanian mereka itu melahirkan pemahaman keliru dan fatwa prematur, walhasil banyak penyelewangan hukum karena memang perkara ijtihad dijalankan oleh yg bukan ahlinya.
Beliau kemudian menjelaskan bahwa orang yang menganggap: wajib  ijtihad  bagi  semua  orang dan haramnya taqlid kepada mujtahid, atau juga wajib bagi  semua  muslim termasuk awam  mengerti   dalil  dan teks-teks syariah, karena orang itu (yang mengharamkan taqlid) tidak tahu bagaimana tingginya ijtihad, dan rumitnya memahami teks syariah. Atau yang kedua, yakni ia tidak mengetahui kadar kemampuan dirinya sendiri. beliau melanjutkan, kalau awam berijtihad, lalu bagaimana dengan ayat "Fas'alu Ahla-Dzikri ..."?, karena memang tidak semua orang mampu menggali hukum dari teks-teks langsung kecuali melalui jalan ulama yang benar-benar mengerti, Ulama “Akhirat”bukan yang hanya merasa atau mengaku mengerti.
Kalau seandainya awam juga wajib berijtihad, tentu awam-awam di 3 generasi emas (Salafus Shaleh) lebih layak diikuti dibandingkan awam zaman sekarang. Toh generasi awal itulah yang mendapatkan legitimasi nabawi bahwa mereka lah generasi terbaik. Nyatanya, yang dilakukan mereka zaman itu juga mengikuti siapa yang lebih mengerti, tidak ada yang berani meremehkan al-Quran dan hadits dengan menggalinya langsung tanpa “alat” yang memadai.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya  berkata, “Tidaklah semua sahabat itu ahli fatwa, dan agama pun tidak diambil dari mereka semua. (Agama) hanya diambil secara khusus dari sahabat-sahabat yang menghafal Al-Qur’an dan memahami kandungannya, yang mengetahui dengan baik persoalan nasikh dan mansukh, mutasyabbih dan muhkam, dan penunjukan (pemahaman)-nya sebagaimana yang mereka terima dari RasulullahJ atau dari orang-orang yang (langsung) mendengar dari beliau, dan mereka dikenal dengan sebutan al Qurra’…”
 Dengan kata lain, para sahabat pun meminta fatwa kepada sahabat yang lain dan ini menjadi bukti bahwa tidak semua sahabat ‘berani’ kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui sahabat yang termasuk golongan ahli fatwa. Tidak semua shahabat ridwanullahi alaihim punya kemampuan dalam melakukan ijtihad, dari sekitar 124.000 sahabat, yang punya kapasitas sebagai mujtahid terbatas sekali jumlahnya mungkin hanya sekitar 130-an orang saja, dan dari sekitar 130 orang sahabat itu, yang paling sering berfatwa hanya 7 orang saja, yakni Sayidina Umar bin Khaththab ra, Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Abdullah bin Mas’ud ra, Sayidina Abdullah bin Abbas ra, Sayidina Zaid bin Tsabit ra, Sayidina Abdullah bin Umar ra, dan Sayidah Aisyah ra.  
Dari sahabat golongan ahli fatwa inilah muncul apa yang kita kenal dengan Mazhab (Qaul) ash-Shahabi. Dengan keluasan ilmu, mereka berijtihad dan mengajarkan hasil ijthad mereka itu kepada murid-muridnya dan terus berlanjut dari generasi ke generasi hingga memunculkan Mazhab yang cukup banyak; dan yang bertahan hingga saat ini hanyalah empat Mazhab, yakni Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali.
Diceritakan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya Nashihatu Ahli al-Hadits. Suatu ketika al-A’masy duduk bersama Imam Hanafi. datanglah seorang laki-laki bertanya sesuatu hukum kepada al-A’masy. Al-‘Amasy berkata; “wahai nu’man! (Imam Abu Hanifah), jawablah pertanyaan itu!”.  Imam Abu Hanifah menjawab pertanyaan itu dengan baik. Al-A’masy kaget dan bertanya, “dari mana kamu dapat jawaban itu wahai Abu Hanifah?” Imam Abu Hanifah menjawab, “dari hadits yang engkau bacakan kepada kami”. Al-A’masy  menimpali: “Iya benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokternya”.
Imam Hanafy adalah seorang Faqih. Al-a’masy adalah seorang Ahli Hadits. Pemisahan tugas muhaddits dan faqih bukanlah sesuatu yang negatif. Karena dari situlah para ulama sadar diri atas keilmuan yang dikuasainya. Sehingga antara muhadits dan faqih itu bisa saling bersinergi dalam kebaikan. Selain itu, tak bisa dipungkiri juga, ada ulama yang selain faqih juga muhaddits. Tapi itu sangat sedikit jumlahnya. Contohnya Imam Syafi’i .

Imam Ahmad bin Hanbal  berkata tentang Imam Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Asakir. “Dahulu Ahli Fiqih itu dokter, sedangkan muhaddits adalah apotekernya. Sehingga datanglah Imam as-Syafi’i, beliau adalah dokter sekaligus apoteker “.
Maka tidaklah mengherankan seorang Ulama sekaliber Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Ghazali bahkan Imam Bukhari pun bermazhab  (Syafi’i) meskipun dimungkinkan tingkatan Taqlidnya berbeda dengan orang awam. Taklid yang hukumnya boleh berlaku bagi para mutjahid yang tidak sampai batas sebagai mujtahid mutlak. 
Mereka punya kapasitas & syarat untuk berijtihad sendiri   dalam hal-hal tertentu yang merupakan cabang dari suatu masalah, dimana hasilnya boleh jadi berbeda dengan ijtihad gurunya.Namun begitu mereka masih diperbolehkan untuk bertaqlid dan tidak berijtihad sendiri. Para Imam dan Ahli Ilmu ini faham bawa Imam-imam mazhab yang 4 itu adalah Ulama-ulama pilihan yang bahkan merekapun taqlid kepadanya. Bagaimana dengan kita?



C.  HARUSKAH  TAQLID   &   BERMAZHAB  ?

Apakah kita harus mengikut Mazhab dalam menjalankan syariat ini?  jawabannya bisa haram , boleh dan tidak harus, tapi bisa jadi wajib , tidak bisa tidak. Para ulama menyebutkan bahwa definisi Taqlid adalah :

Mengambil pendapat dari orang lain tanpa mengetahui dalilnya. atau menjalankan suatu ibadah dari orang lain, tanpa merujuk sendiri (langsung) ke sumber hujjahnya (Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-Ijma).”

Taqlid itu boleh dan tidak haram untuk dilakukan. Sebab ada banyak dalil yang membolehkannya, serta dilakukan juga oleh para shahabat, tabi'in dan para ulama. Bahkan orang awam yang tidak bisa berijtihad, mau tidak mau harus bertaqlid. Dalam prakteknya, disadari atau tidak, suka atau tidak suka, mengaku atau tidak mengaku, sebenarnya setiap kita pasti tidak akan pernah terlepas dari praktek bertaqlid.
Karena tidak setiap muslim mampu melakukan istinbath hukum sendiri. Dan tidak setiap muslim mengenal secara langsung dalil-dalil agama. Padahal sebagai muslim, tidak mungkin meninggalkan beberapa ibadah mendasar, seperti bersuci, berwudhu', mandi janabah, bertayammum, shalat, puasa, berihram, tawaf, sa'i dan berbagai jenis ibadah lainnya. Apalagi semua itu sudah terhitung wajib dilakukan ketika seseorang memasuki usia baligh. Dan usia baligh itu adalah usia yang terlalu dini untuk bisa menguasai semua dalil-dalil syar'i atas semua praktek ibadah yang dilakukan.


Sebagian ulama memiliki pendapat yang lain tentang taqlid, mereka membaginya menjadi 3

1.  Taqlid Yang Haram
Taqlid akan menjadi haram hukumnya, apabila terjadi hal-hal yang membuatnya menjadi haram. Dan diantara penyebab keharaman taqlid adalah :

a.  Taqlidnya Mujtahid Mutlak
Seorang yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid mutlak dalam hukum syariah, haram baginya untuk bertaqlid kepada mujtahid yang lain.

b.  Taqlid Kepada Selain Mujtahid
Orang awam yang tidak punya ilmu dan kurang syarat untuk berijtihad, diharamkan untuk bertaqlid kepada mereka yang statusnya orang awam juga. Saat kita bertanya kepada kiyai, ustadz atau guru agama, posisi mereka hanya sekedar penyampai fatwa dari para mujtahid. Karena mereka punya akses kepada kitab-kitab fiqih dari para mujtahid, sehingga mengetahui fatwa-fatwa itu, untuk disampaikan lagi kepada murid-muridnya. Maka para murid itu tidak bertaqlid kepada gurunya, melainkan bertaqlid kepada para mujtahid, lewat informasi dari guru mereka.

c.  Taqlid Kepada Orang Sesat
Kalau taqlid kepada orang shalih tetapi tidak berilmu sudah tidak boleh, apalagi bertaqlid kepada orang yang sesat dalam agama, hukumnya tentu lebih haram lagi.

2. Taqlid Yang Boleh
Taklid yang boleh untuk dilakukan, tidak merupakan kewajiban, juga bukan keharaman. berlaku bagi para mutjahid yang tidak sampai batas sebagai mujtahid mutlak yang punya kapasitas dan punya semua syarat untuk berijtihad sendiri.
3. Taqlid Yang Wajib
Taqlid yang wajib hukumnya adalah taqlidnya kita semua sebagai orang awam kepada para mujtahid yang memang memenuhi syarat ijtihad. Kita sebagai orang awam, tentu tidak punya satu pun syarat untuk jadi mujtahid yang bisa diakui secara layak. Dengan keadaan sebagai orang awam seperti kita ini, maka haramlah atas kita untuk melakukan ijtihad fiqih, yaitu melakukan istimbath hukum dari sumber-sumber syariah Islam secara seenaknya sendiri. Kalau pun kita melakukan ijtihad hukum, hasilnya pun tidak boleh dipakai oleh siapapun, baik oleh mujtahid ataupun untuk orang awam lainnya.

Tidak ada perintah wajib bermazhab secara sharih, namun bermazhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah :

Maa Laa Yatimmul  Waajib  Illa  Bihi  Fahuwa Wajib, 
( Perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga wajib) 

Yaitu Segala perkara yang menjadikan suatu amal kewajiban tidak dapat dikerjakan sama sekali atau bisa dikerjakan namun tidak sempurna kecuali dengan juga mengerjakan perkara tersebut, maka perkara tersebut yang asalnya tidak wajib, dihukumi wajib pula.
Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah (boleh) saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yang harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yang wajib.
Demikian pula dalam syariah ini, tidak wajib mengikuti Mazhab, namun karena kita tak mengetahui seluruh samudra syariah, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya RasulJ, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di imam - imam terdahulu, maka berMazhab pun menjadi wajib.

Saking pentingnya bermazhab bagi umat ini, maka Menurut:

v    Abul Hasan Ilkiyya  (Seorang mufasir dan ahli fiqih mazhab Syafi’i,  murid Imam al-Haramain al-Juwaini),  bermazhab ini hukumnya wajib bagi :
1.    Orang awam
2.   Ulama/ahli fiqih yang belum mencapai derajat mujtahid.

v    Imam As Suyuthi dalam kitabnya al-Kaukab al-Sathi' Nadhom Jam'u al-Jawami' mengatakan :

“Manusia itu ada yang mujtahid & ada yang tidak. Yang tidak mujtahid wajib baginya bertaqlid, baik dia orang awam maupun orang alim/pandaiHal ini berdasarkan firman Allahldalam Q.S An Nahl : 43  yang artinya:
“Maka bertanyalah kepada orang yg mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”

v    Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (620H) Dalam kitab Raudhoh Al-Nadzir wa Junnah Al-Munadzir, di bab Taqlid, menyebutkan :

Ijma' (Kesepakatan) para sahabat bahwa seorang awam wajib taqlid (mengikuti) mujtahid atau Mazhab. Sama sekali tidak diwajibkan seorang awam untuk mengetahui dalil, cukup bagi seorang awam untuk mengetahui hukum suatu masalah, dan menjalankan ibadah sesuai hukum yang ia ketahui walau tidak tahu dalil. Dan cukup baginya fatwa ulama yang ia ikuti, atau guru yang ia belajar kepadanya.
Mereka yang tidak mampu melakukan ijtihad atau orang awam atau bahkan ulama yang belum tentu mampu berijtihad, maka ia harus mengikuti hasil ijtihad dari salah seorang mujtahid (Mutlak) yang ia percayai. Hal ini sejalan dengan Al Qura’an surat An-Nahl ayat 43, yang artinya “Bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak mengerti”.

v    Imam Al Mawardi penulis Al Hawi Al Kabir  mengatakan :

Kalaulah seluruh manusia dilarang untuk taqlid dan mereka dibebani untuk berijtihad, maka kewajiban untuk memahami perangkat ijtihad wajib bagi seluruh manusia. Hal ini adalah kekacauan tatanan dan merupakan kerusakan…”
  Beliau digelari dengan Aqdha Al-Qudhah (Pemimpin para Qadhi) karena beliau banyak menghasilkan putusan hukum (qadha) dan fatwa saat menjadi Hakim serta karena luasnya ilmu beliau dalam masalah syar’i.  

v    Al-Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitab Al-Mizan al-Kubra (1/34) menulis:

“Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawwash rahimahullah ditanya oleh seseorang tentang mengikuti mazhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak, maka beliau menjawab, Anda harus mengikuti suatu mazhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir akan jatuh pada kesesatan’. Dan begitulah yang harus diamalkan oleh orang pada zaman ini.”

Imam Mazhab merinci hadits-hadits, mana yang rukun yang wajib dikerjakan (contoh : membasuh muka) , mana yang sunnah ( berkumur) , mana yang makruh (berlebihan air) dan lain-lain yang dengan begitu mempermudah kita tanpa perlu kita “keriting” membuka kitab hadits yang belum tentu tahu ilmunya, Kita bisa beribadah dengan enak,mudah, mengetahui rukun, sunnah, makruh dan mana yang membatalkan, belajar dari imam Mazhab yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits.
Karena memang pada dasarnya, mengikuti ulama-ulama mazhab tersebut itu sama juga mengikuti al-Qur'an dan hadits NabiJ,  mereka tidak mendatangkan hukum-hukum syariah dari otak dan nafsu mereka, akan tetapi itu semua dari al-Qur'an dan hadist NabiJ , tidak repot dan tidak kesasar Efektif dan efisien. kalau mau lebih tahu dasarnya langsung,  kita bisa mendapatkannya dalam kitab-kitab fiqih tingkat lanjut, seperti:
Kitab Al-Umm yang disusun Imam Syafi’i yang merupakan kitab terbaik yang menjadi pegangan hukum (fiqih) para Madzhab Syafi’i, membahas berbagai persoalan lengkap  dengan dalil-dalilnya, dengan bersumber pada  al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Al-Hafidz ibnu Hajar berkata: “Jumlah kitab (masalah) dalam kitab al-umm sebanyak 40 bab lebih -wallahu a’lam- dimulai dari kitab at-Thaharah kemudian kitab as-Shalat. Begitu seterusnya yang beliau susun berdasarkan bab-bab fiqih …”,  
Ada juga Syarah Al Muhadzab  yang disusun oleh Imam NawawiKitab al-Hawi al-Kabir, kitab fiqih mazhab Syafi’i yang berjumlah lebih dari 20 jilid yang disusun oleh Imam Mawardi & yang lainnya, dalam kitab-kitab tersebut akan didapatkan keterangan lengkap seperti hadits membasuh muka riwayat yang shahih, hadits takbiratul ihram dan lain sebagainya.
Maka ketika seseorang dituduh taqlid pada seorang ustad/kyai sesungguhnya dia sedang taqlid pada mazhab ( Mujtahid Mutlak) yang diajarkan turun temurun hingga sampai pada gurunya tersebut. Jadi tidaklah tepat kalau orang yang belajar kepada seorang kyai disebut taqlid buta, karena baik kyai, ustad atau ulama sesungguhnya hanya penyampai fatwa dari para mujtahid ( yang berdasarkan al qur’an & Hadits). Karena mereka punya akses kepada kitab-kitab fiqih dari para mujtahid, sehingga dapat dengan mudah untuk mengetahui fatwa-fatwa itu, untuk disampaikan lagi kepada murid-muridnya.
 Dengan bahasa lain mazhab awam itu mazhab gurunya. Jadi apapun yang diajarkan gurunya, itulah Mazhab yang ia harus ikuti karena jika dirunut ke atas sumbernya tetap dari RasulullahJ. Jadi tidak perlu malu dan ragu untuk mengaku bermazhab sebab ketidaktahuan kita, sebab ulama-ulama alim yang hafal ratusan ribu hadits seperti disebutkan diatas pun berMazhab.

Kita adalah awam yang hanya bisa mengikuti ulama Mazhab agar selamat dalam beragama dan tidak keliru memahami al-Qur'an serta hadits NabiJ.


D.     MUJTAHID

Tidak sembarang orang dapat melakukan ijtihad. Bahkan dari kalangan sahabat NabiJ sendiri hanya beberapa orang saja yang berijtihad sendiri. Beberapa syarat mutlak harus dipenuhi. Imam Ghazali dalam Al Basith  mengatakan bahwa syarat-syarat ini pada masa ini telah sangat sulit  untuk dicapai. Ia haruslah benar-benar menguasai dalam ilmu agama, yakni ahli dalam memahami ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu nahwu, dan lain sebagainya.   Oleh sebab   itu ada beberapa    persyaratan yang  harus dipenuhi agar seseorang  dapat  melakukan proses ijtihad.
Sebagai gambaran berat dan sulitnya menjadi seorang mujtahid, berikut beberapa persyaratan tersebut yang termuat dalam Ushul FiqhAbu Zahroh  :

1.   Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari Al Qur’an. Yaitu harus memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk didalamnya adalah harus memahami asbabun nuzul, Nasikh MansukhMujmal Mubayyan , Muhkam Mutasyabih, dan lain sebagainya.

2.   Memiliki ilmu yang luas tentang Hadits Nabi muhammadJ, terutama yang berkaitan  dengan persoalan hukum. Seperti asbabul Wurud (latar belakang munculnya Hadits), Rijalul Hadits (Sejarah para Perowi Hadits) dan Nasikh Mansukh (Hadits yang mengganti dan Hadits yang diganti).

3.   Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati oleh para Ulama’ (ijma’).

4.   Memahami Qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum.

5.   Menguasai Ilmu Bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam. Seperti Ilmu Nahwu, Ilmu Shorof, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq dan lain sebainya.

6.   Memahami serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam, yakni memahami bahwa tujuan agama islam adalah Rahmatan lil ‘Alamin, yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dloruriyat (primer atau pokok), hajiyyat (sekunder atau pelengkap), dan tahsiniyyat (tersier atau keindahan).

7.   Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan secara ilmiyah untuk menghasilkan keputusan hukum.

8.   Mempunyai niat serta akidah yang benar. Dengan kata lain, tujuannya bukanlah mengejar dan mencari pangkat dan kedudukan duniawi. Namun niatnya adalah murni karna Allahl, ingin mencari hukum Tuhan demi kemashlahatan seluruh umat manusia.  (Ushul Fiqh, Abu Zahroh, 380-389)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqh Al Islami wa Adilatuhu menyebutkan 6 tingkatan mujtahid fiqih yang ada, tambahan satu peringkat oleh Ibnu Abidin, Jumhur ulama tidak membedakan anatara mujtahid muqoyyad dan mujtahid takhrij, tetapi Ibnu Abidin menjadikan mujtahid takhrij sebagai tingkatan yang keempat setelah mujtahid muqoyyad (Hasyiyah Ibnu Abidin, 1:82 dan Al Fiqh Al Islami, 1:45)

7 Tingkatan Mujtahid :

1.      Mujthid Muthlaq ) Mustaqil.
2.      Mujtahid Ghairu Mustaqil.
3.      Mujatahid Muqayyad
4.      Mujtahid Takhrij
5.      Mujtahid Tarjih
6.      Mujtahid Fatwa
7.      Thabaqat Muqallid (Orang Yang Taklid)

v  Mujtahid Muthlaq Mustaqil (Mandiri) Ini merupakan tingkatan fukaha paling tinggi. Seorang mujtahid mustaqil  atau biasa disebut juga Mujtahid Muthlaq memiliki kemampuan untuk menetapkan kaidah-kaidah fikih berdasarkan kesimpulan terhadap perenungan dalil Al Quran dan Sunah. Di antara ulama yang telah mencapai derajat mujtahid mustaqil adalah para Imam Mazhab yang 4. yaitu Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas (93-179 H), Imam Syafi’i (150-204 H) dan Ahmad bin Hambal (164-241 H). Mujtahid yang memenuhi kriteria ini tidak didapatkan lagi semenjak setelah masa Imam 4. Bahkan Imam As Sayuthi mengatakan  keinginan manusia pada hari ini  ingin menjadi mujtahid (mutlaq) adalah suatu hal yang mustahil.

v  Mujtahid Muthlaq Ghairu Mustaqil (bernisbat pada Mujtahid Mutlaq) , disebut juga Mujtahid Muntasib Mereka adalah ulama yang memenuhi kriteria sebagai seorang mujahid muthlaq, akan tetapi ia tidak membuat kaidah-kaidah sendiri dalam menyimpulkan masalah-masalah fiqihnya. Mereka tetap masih menggunakan kaidah-kaidah yang dipakai oleh para imam Mazhab masing-masing dalam ijtihadnya. Yang termasuk di antara mereka adalah para murid imam Mazhab seperti Abu Yusuf (Hanafiyah), Ibnu Al-Qasim(Malikiyah), Al-Buwaithi, Al-Muzanni(Syafi’iyah) Abu Bakar Al-Atsram (Hambali)

v  Mujtahid Muqayyad  (mujtahid terikat/terbatas). Mereka adalah kelompok ulama mujtahid yang memiliki kemampuan untuk mengkiaskan keterangan-keterangan yang disampaikan oleh imam mazhab, untuk memecahkan permasalahan baru yang tidak terdapat dalam keterangan-keterangan ulama mazhab ( menggali hukum pada permasalahan yang belum diuraikan oleh imam mazhab) Diantaranya adalah :
(Hanafiyah):  Imam Ath Thahawi, As Sarkhasi,
(Malikiyah) :  Ibnu Abi Zaid Al Qairuwani,
(Syafi’iyah) : Muhammad bin Jarir, Abu Ishaq Asy Syirazi, Ibnu Khuzaimah
(Hambali)  :  Al Qadhi Abu Ya’la dan Al Qadhi Abu Ali bin Abu Musa.

v  Mujtahid TakhrijMereka adalah deretan ulama yang men-takhrij beberapa pendapat dalam mazhab. Kemampuan mereka dalam menguasai prinsip dan pengetahuan mereka dalam memahami landasan mazhab telah menjadi bekal bagi mereka untuk menguatkan salah satu pendapat. Di antara ulama yang tergolong pada tingkatan ini adalah: Imam Ar Razi dan Al Jashas.

v  Mujtahid Tarjih. Mereka adalah kelompok mujtahid yang memiliki kemampuan memilih pendapat yang lebih benar dan lebih kuat, ketika terdapat perbedaan pendapat, baik perbedaan antara imam mazhab atau perbedaan antara imam dengan muridnya dalam satu mazhab. Di antara ulama yang mencapai jenjang ini adalah:
(Hanafiyah):  Abul Hasan Al Qaduri
(Malikiyah) :  Imam Khalil bin Ishaq Al Jundi
(Syafi’iyah)  :   An Nawawi, Ar Rafi’i
(Hambali)    :   Imam Al Mardawi

v  Mujtahid Fatwa : Mereka adalah para ulama yang memahami pendapat mazhab, serta menguasai segala penjelasan dan permasalahan dalam mazhab, sehingga mereka mampu memenentukan mana pendapat yang paling kuat, agak kuat, dan lemah. Namun, mereka belum memiliki kepiawaian dalam menentukan landasan kias dari mazhab. Di antara ulama yang menduduki derajat ini adalah para penulis kitab matan fikih, seperti:
(Hanafiyah) : Imam An Nasafi (penulis kitab Kanzu Ad Daqaiq), Imam Al Hasfaki (penulis kitab Ad Durrul Mukhtar), dan Syekh Zadah (penulis kitab Majma’ Al Anhar)
 (Syafi’iyah) : Imam Ar Ramli, Al Hafizh Ibnu Hajar Atsqalani, Al Ghazali
                        
v  Muqallid  (orang yang taklid). Adalah mereka yang tidak mampu melakukan hal-hal di atas,  ia hanya bisa mengikuti pendapat-pendapat ulama yang ada. dan kita mayoritas berada pada tahap ini.

Perhatikanlah bagaimana ulama-ulama besar selevel Abu Yusuf dan Al-Muzanni yang memenuhi kriteria sebagai seorang mujtahid muthlaq mustaqil, namun tidak membuat mazhab sendiri ataupun keluar dari mazhab, begitupula Imam Ar Ramli, Al-Ghazali dan Al Hafizh Ibnu Hajar yang dikategorikan sebagai Mujtahid Terbawah (sebelum muqallid) yang mampu memenentukan mana pendapat terbaik akan tetapi tetap bermazhab.
Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tidak menyebutkan dalilnya, apakah lantas dengan enteng kita mendustakannya? Cukuplah sosok Imam Syafii yang demikian mulia dan tinggi pemahaman Ilmu Syariahnya, lalu ucapan fatwa – fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid – muridnya dan ratusan Imam dan Al Hafidh dan Hujjatul Islam sesudah beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat- buat hukum semaunya, jika beliau salah dalam fatwanya mestilah sudah diperbaiki dan dibenahi oleh ratusan imam sesudahnya.
Namun sangat disayangnya dewasa ini banyak saudara-saudara kita  yang dengan entengnya menganggap hadits atau pendapat suatu mazhab dianggap lemah dan yang lain kuat atau sebaliknya juga meremehkan akan keberadaan mazhab, saudara kita yang membaca satu, dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam Hakim dhoif, Hadist Imam Ghazali palsu, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud atau berfatwa dengan semaunya dan fatwa – fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya, sehingga mempengaruhi orang lain untuk keluar dari mazhab (Imam 4). Akan tetapi disadari atau tidak, diakui atau tidak mereka menarik pada mazhab lain diluar mazhab 4  atau pada mazhab yang dia bawa sendiri.

RasulullahJ bersabda:
Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan.
(HR. Ahmad)



E.        MENGAPA  HARUS  MAZHAB  YANG  4 ?

Para pendiri mazhab tidak lain adalah sosok para Imam Mujtahid Mutlak. Kepada mereka itulah kita belajar ilmu-ilmu syariah yang menjadi syarat seorang mujtahid. Ibaratnya, bila kita ingin belajar ilmu ilmu fisika, maka orang yang paling mengerti fisika adalah Newton, Einstein, Copernicus dan seterusnya. Kalau kita mau belajar ilmu Matematika, maka orang yang paling mengerti adalah Al-Khawarizmi atau Pythagoras. Kalau mau mengerti komputer, kita bias menimba ilmu kepada Charles Babbage atau kalau terkait software bisa kita sebut Bill Gates atau Steve Jobs.
Dan kalau kita mau tahu bagaimana cara menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan Sunnah, orang yg paling pintar dan mengerti adalah para ulama, yaitu para sahabat, tabi’in dan di masa berikutnya adalah 4 pendiri mazhab besar, yaitu Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal.

RasulullahJ bersabda :
"Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (masa para sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam hadits ini bisa dipahami, bahwa sebaik-baik masa adalah masa RasulullahJ sampai tahun 300 H. Itulah mereka yang disebut kaum salaf (as-Salafus Shalih).

Al Baijuri –ulama mazhab syafi’i –berkata, “Maksud dari orang-orang terdahulu (salaf) adalah orang-orang terdahulu dari kalangan para nabi, sahabat, tabi’in, dan para pengikutnya (Tabi’ut tabiin).”
Mereka ini semua ulama Salafus Soleh atau ulama salaf. Salaf ialah nama “zaman” yaitu merujuk kepada golongan ulama yang hidup antara kurun zaman kerasulan Nabi MuhammadJ hingga 300 H. 3 Kurun pertama itu bisa diartikan 3 Abad pertama (0-300 H).
(Syeikh Ali Jum'ah Mufti Mesir, Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqosyatu ahammi qadlayahum)

v  Generasi pertama adalah mereka yang pernah bertemu NabiJ disebut “Sahabat Nabi

v  Generasi kedua yaitu golongan yang pernah bertemu dan atau berguru kepada Sahabat NabiJ tapi tak pernah bertemu NabiJ.  disebut “Tabi’in”.

v  Generasi ketiga yaitu golongan yang tak pernah bertemu Nabidan sahabat tapi bertemu dan atau berguru dengan tabi’in. disebut sebagai “Tabi’ut  tabi’in”.

Imam Hanafi lahir :  80 hijrah
Imam Maliki lahir :  93 hijrah
Imam Syafie lahir :  150 hijrah
Imam Hanbali lahir : 164 hijrah

Imam Hanafi merupakan murid Sahabat NabiJ maka beliau seorang Tabi’in.
Imam Malik,  Imam Syafi’i,  Imam Hanbali, berguru (bertemu) dengan tabi’in maka mereka adalah golongan “Tabi’ut tabi’in”.

Jadi kesemua Imam-Imam yang mulia ini merupakan golongan Salafus Soleh yang termasuk dalam golongan terbaik yang dimaksudkan RasulullahJ



Imam Al-Auza’i berkata:
“Bersabarlah dirimu di atas sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para sahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka tinggalkan. Dan ikutilah jalan Salafus Shalih, karena ia akan mencukupimu sebagaimana ia telah mencukupi mereka.” (Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah)

Beliau juga mengatakan :
“Hendaklah engkau berpegang kepada atsar-atsar (riwayat/perkataan) dari para ulama generasi As-Salafush Sholih meskipun orang-orang menolaknya. Dan jauhkanlah dirimu dari pendapat orang-orang meskipun mereka menghiasi pendapatnya dengan kata-kata yang indah.”

Imam Mazhab yang 4 telah diakui oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang terbaik dalam memahami Al Qur’an & As Sunnah atau diakui berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Selain itu Imam Mazhab yang 4 masih sempat bertemu dengan para perawi hadits yang meriwayatkan hadits sehingga Imam Mazhab yang 4 adalah para ulama yang patut dijadikan Imam atau pemimpin yang diikuti oleh kaum muslim sampai akhir zaman. Mereka adalah soko guru untuk seluruh ulama berikutnya hingga 12 abad kemudian sampai hari ini. Pantaskah kiranya kita mengesampingkan bahkan mengganti Imam-Imam penuntun kita?

Sayyid Alawi bin Ahmad as-Seggaf mengatakan:
”Sebenarnya yang boleh diikuti itu tidak hanya terbatas pada 4 Mazhab saja. Bahkan masih banyak Mazhab ulama yang boleh diikuti, seperti Mazhab Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Ishaq bin Rahawaih, Daud azh-Zhahiri dan al-Auza’i  (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hlm 59).
Selain itu ada juga Imam Al-Laits bin sa’ad (W 175 H) beliau adalah Imam yang sangat dikagumi oleh Imam sayfi’i. Bahkan beliau (Imam Syafi'i) mengatakan: “Imam Al-laits lebih cerdas dari Imam Malik”. (Al-A’lam Lil-Zarkali 5/248). Lalu mengapa yg diakui serta diamalkan oleh Ahlussunnah wal-jamaah kebanyakan hanya 4 Mazhab saja?.
Yang menjadi salah satu faktor adalah tidak lepas dari murid beliau-beliau yang kreatif, yang membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga :

Semua pendapat imam-imam tersebut dapat terkodifikasi dengan baik,  akhirnya validitas  dari pendapat-pendapat tersebut tidak diragukan lagi dan ke-mutawatiran-nya terjamin.

Di samping itu, madzahibul arba’ah ini telah teruji keshahihannya sepanjang sejarah, sebab memiliki metode istinbat yang jelas dan sistematis, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Beliau juga menjelaskan:
“Sekelompok ulama dari kalangan ashhab kita (ashhâbina) mengatakan bahwa tidak diperbolehkan bertaklid kepada selalin Mazhab yang 4, karena selain yang 4  itu jalur periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad (mata rantai) yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan.
Berbeda dengan Mazhab yang 4. Para tokohnya telah mengerahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa aman dari terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta mereka juga mengetahui pandapat yang shahih dan yang lemah.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hlm59)

Syaikh Muhammad Amin al Kurdi (1300 H)  dalam Kitab Tanwir al Qulub fi Muamalati Allami al Ghuyub mengatakan : "Dan barang siapa yang tidak mengikuti salah satu dari mereka (Imam madzhab 4) dan berkata "saya beramal berdasarkan alQuran dan hadits", dan mengaku telah memahami hukum-hukum alquran dan hadits, maka orang tersebut tidak dapat diterima, bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan, terutama pada masa sekarang ini di mana kefasikan merajalela dan banyak tersebar dakwah-dakwah yang salah, karena ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah mereka dalam ilmu, amal, keadilan dan analisa".
Menurut beliau, hal itu terjadi adalah karena keterbatasan waktu orang sekarang dalam memahamkan agama, serta banyaknya pengaruh rusak akibat lemahnya moralitas, kedurhakaan yang meluas, dan tingginya kecintaan pada hal-hal duniawiyah. Di samping tidak tersusun rapinya buku-buku pembahasan masalah agama di luar Madzhab yang Empat ini. Apalagi dilihat tentang kedalaman ilmu, jelas orang sekarang tertinggal jauh jika dibandingkan dengan ilmu para Imam Madzhab yang Empat. (Lihat Tanwirul Qulub, halaman 65-66,  cetakan Darul Kutubi al Ilmiyah, Beirut)

Imam Masjidil Haram Syeikh Abdurrahman bin Abdul Azis As-Sudais dalam kunjungannya ke Indonesia, Jakarta ( 2014), berpesan agar umat Islam memegang teguh ajaran Al-Qur’an jika ingin selamat dan mendapat keberkahan di dunia dan akhirat. Menurut Doktor Ushul Fikih ini, dalam memegangi Al-Qur’an itu perlu mengikuti pemahaman para generasi pendahulu umat, itulah yang sesuai apa yang diikehendaki Allahlsebagai bentuk ideal umat Islam
 “Dalam menuntut ilmu agama hendaknya kita mengikuti metode pemahaman yang ditinggalkan Rasulullah J , dan para pendahulu umat ini, yaitu para sahabat, generasi tab’in dan tabiut tabi’iin, imam Mazhab yang empat serta para ‘ulama ahlus Sunnah wal jama’ah,” ujar As Sudais. Menurut Doktor Ushul Fikih ini, mengikuti pemahaman para generasi pendahulu umat berarti sesuai apa yg diikehendaki Allahlsebagai bentuk ideal umat Islam.

"Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikan Dari Siapa kalian mengambil agama kalian."
( Al-Imam Ibnu Sirin )



F.   BAHAYANYA    PEMAHAMAN   YANG 
MENYIMPANG

Alim ulama mengatakan orang yang ingin menjadi ahli tafsir alqur’an  harus mengusai 15 cabang ilmu seperti ilmu lughah, nahwu, saraf, balaghah, isytiqoqo, alma’ani, badi’, bayan, fiqh, aqaid/aqidah,  asbabunuzul, nasikh mansukh, ilmu qiraat, ilmu hadits, usul fiqah ( hukum-hukum furu’) dan ilmu wahbi ( fadhilah alqur’anSyaikh Maulana Zakariyya).
Ilmu Aqa’id/aqidah  Adalah Ilmu yang mempelajari dasar-dasar keimanan. dalam hal ini mengetahui sifat-sifat Allahl yang wajib, yang mustahil dan sifat yang jaiz  (boleh/harus) bagi Allahl Karena Kadangkala ada ayat yang arti zhahirnya tidak mungkin diperuntukkan bagi Allahl, banyak juga ayat mutasyabihat yang tidak boleh mengambil makna dhahir (explisit) dari ayat itu, tapi menggunkan makna implisit dari lafadz tersebut.
Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dengan ayat-ayat dan hadit-haditst sifat ?. ayat-ayat sifat adalah ayat Alquran atau Hadits Nabiyang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata , tangan, naik turun dll yang di sandarkan kepada Allahlyang apabila salah dalam memahamimya, seseorang bisa masuk dalam kesesatan  aqidah  mujassimah ( menyerupakan Allahl dengan hambanya).

Masalah ayat atau hadist  sifat dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.
1.  Pendapat Tafwidh Ma’a tanzih
2. Pendapat Ta’wil



·          Mazhab Tafwidh Ma’a Tanzih yaitu mengambil dzahir lafadz dan menyerahkan maknanya kepada Allahl,dengan I’tiqad Tanzih (mensucikan Allahldari segala penyerupaan). Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat (Aswa wa sifat) , ia berkata :
 Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna”
 Inilah yang juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah.

·          Mazhab Takwil yaitu menakwilkan ayat atau hadist tasybih sesuai dengan ke-Esaan dan Keagungan Allahl, dan pendapat ini lebih baik untuk diikuti karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam  (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll. (Syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri).

Ta’wil berarti menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yg lebih layak bagi Allahl, dikarenakan makna dzahir ayat/hadits Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur menyamakan Allahldengan makhluk.

Banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yg berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll ( Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).

Begitu penting dan bahayanya permasalahan ini Sehingga Para ulama, Salafus Sholeh mewanti-wanti agar berhati hati dalam memahami ayat atau hadits sifat ini karena bisa menjerumuskan ke dalam kekufuran oleh sebab menyerupakan Allahl dengan mahluknya.
Berikut adalah diantaranya pernyataan Para Imam, Para Ulama, terkait bahayanya aqidah mujasimmah:

v  Al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad berkata:
“Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada dzahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi MuhammadJ yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”.

v  Jalaluddin As-Suyuthi ( Imam Suyuthi ), dalam Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi mengatakan:
Ia (ayat2 mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allahl, yad , ain & istiwa sebagaimana makna yg selama ini diketahui (wajah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.

v   Imam Asy-Syafi’i berkata:
Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allahl) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allahl, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allahl dengan makhluk-Nya), kafir.,.. (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan lainnya)

v  Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al Qawim , mengatakan:
“Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah  mengenai pengkafiran mereka terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa Allahl di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.
v Sayyidina Abu Bakr Ash-Shiddiq  berkata :
 "Pengakuan bahwa pemahaman seseorang tidak mampu untuk sampai mengetahui hakekat Allahladalah keimanan, sedangkan mencari tahu tentang hakekat Allahl, yakni membayangkan-Nya  adalah kekufuran & syirik". (diriwayatkan oleh  ahli Fiqih & hadits al Imam Badr ad-Din az-Zarkasyi as-Syafi'i (W. 794 H) & lainnya).

v Al-Imam Al-Hafidz Abdurrahman Ibnu Al-Jawzi (wafat 579 H). Dalam buku beliau Al-Fatawa Al-Hindiyah:
“"Seseorang itu bisa jatuh pada Hukum Kafir jika menisbahkan tempat bagi Allahl." (2/259)

v  Syekh Abd Al Ghani An-Nabulsi : dalam kitabnya al faidl ar-rabbani berkata:
"Barangsiapa yang mengatakan bahwa Allahl terpisah dari-Nya sesuatu, Allahlmenempati sesuatu, maka dia telah kafir".

Contoh  ayat & Hadits sifat :

Dalam firman AllahlSurat AdzDzaariyaat ayat 47:
“Dan langit itu Kami bangun dengan Tangan dan sesungguhnya Kami benar-benar memperluasnya

Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat ayat 47
“Makna Lafadz  ا بِأَيْدٍ (dengan Tangan ) adalah  kekuatan. Yang mengatakan seperti ini adalah Ibnu abbas, mujahid, qatadah,  atsauri dan selainnya”

Jadi  Ibnu Abbas mengatakan: “Yang dimaksud lafadz  (biaidin) adalah “dengan  kekuasaan“, bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allahlmaha suci darinya.
Lihat rujukan dalam kitab Tafsir mu’tabar :
Dalam Tafsir Qurtuby,  Tafsir Thobary , Tafsir Jalalain:  Lafadz bi aidin artinya dengan kekuatan-nya.
”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada AllahlTangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10).

Dalam Tafsir Ibnu katsir  , beliau tidak mengambil makna dhahir tangan, makna yadullah (Tangan Allahl) bermakna : “Allahlmenyaksikan (hadir) bersama mereka, Allahlmendengar percakapan mereka, allahlmelihat tempat mereka, Allahlmengetahui kata Bathin (hati mereka) dan dhahir mereka maka dialah Allahl Yang membai’at mereka dengan perantara RasulullahJ.”

Jadi tidak ada kitab tafsir mu’tabar yang mengambil makna dzahir dari ayat-ayat mutasyabihat!

Begitu juga dalam hadits Qudsi  disebutkan Allahl turun kelangit yang terendah saat sepertiga malam terakhir, (HR Muslim ) .  kita tidak bisa memahami hadits diatas secara dzahir, secara tekstual karena kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir dan waktu sepertiga malam terakhir terus bergeser ke belahan bumi lainnya.
 Karena jika begitu, berarti Allahlitu selalu bergelantungan mengitari bumi di langit yang terendah dan ini adalah pemahaman yang salah.

Sebagaimana makna ayat “Istiwa “,   kita tidak boleh mengatakan bahwa Allahlitu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat Istiwa”dengan makna Bersemayam”  dengan makna dzahir ( Duduk, atau berkediaman) atau” Ada Di Suatu Tempat”.
Tak mungkin kita katakan bahwa Allahlitu berkediaman disuatu tempat, dan juga bertentangan dengan ayat – ayat dan nash hadits lain. Bila kita mengatakan Allahlada di Arsy, maka dimana Allahlsebelum Arsy itu ada? Kalau Allahll dilangit dimanakah Allahlsebelum langit ada? Jika begitu berarti Allahl berpindah setelah langit di ciptakan? Jika begitu Allahl menempati ruang & waktu & berpindah?. berarti Allahl berwujud seperti makhluk? Na’udzubillahi mindzalik

v  Tafsir Ibnu katsir menolak makna dzahir dalam surat al -a’raf ayat 54:
“Sedangkan firman-Nya : (ثم استوى على العرش ) tsummas tawaa ‘alal ‘arsy kemudian Allahl beristiwa kepada arsy-
……… Tetapi dalam hal ini kami menempuh jalan para ulama salafus shalih, yaitu Imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan imam-imam lainnya, baik yang terdahulu maupun yang hidup pada masa berikutnya. Yaitu dengan membiarkannya seperti apa adanya, tanpa adanya takyif (mempersoalkan kaifiatnya/hakikatnya), tasybih (penyerupaan) dan ta’thil (penolakan). Dan setiap makna dhahir yang terlintas pada benak orang yang menganut paham musyabbihah (menyerupakan Allahl ldengan makhluk), maka makna tersebut terjauh dari Allahl, karena tidak ada sesuatu pun dari ciptaan Allahlyang menyerupai-Nya. ……”

v Tafsir al Qurtubi

(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan & penguasaan

v  Tafsir al-Jalalain

(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya
v  Tafsir an-Nasafi Maknanya:

makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulama Ahlu Sunnah yang lain…

v  Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):
“ Barang siapa yang menyifatkan Allahldengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy karena arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allahlsebagaimana kata-kata Sayidina Ali  bin Abi Thalib mengatakan :
“Sesungguhnya Allahltelah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya. (diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh)

v  Imam Abu hanifah:
“ Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allahlber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap  di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allahl memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allahlini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allahl memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum dicipta Arasy dimanakah Dia? Maha suci Allahldari yang demikian”. (terjemahan dari kitab Wasiat Imam Abu Hanifah )

v  Imam Syafie:
”Sesungguhnya Dia lada (dari azali) dan tempat belum diciptakan, kemudian Allahlmencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allahl perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23

Ketika Imam Syafi’i ditanya tentang sifat Allahl, beliau menjawab: “Haram bagi akal membuat perumpamaan, Haram bagi pemikiran membuat batasan, dan haram bagi prasangka untuk membuat pernyataan, dan Haram juga bagi Jiwa untuk memikirkan (Dzat,perbuatan dan sifat-sifat) Allahl, dan haram bagi hati untuk memperdalam, dan Haram bagi lintasan-lintasan hati untuk meliputi, kecuali apa yang telah Allahlsifati sendiri atas lisan nabi-Nya MuhammadJ
(Syaikh Ibnu Jahbal di dalam Risalahnya, Thobaqot Asy- Syafi’iyyah Al-Kubra, IX/40 tentang menafikan arah dari Allahlsebagai bantahan atas Ibnu Taimiyyah)

Imam asy-Syafi’I menyatakan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allahl duduk di atas ‘arsy dan tidak boleh shalat  (bermakmum) di belakangnya. (Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W. 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi menukil perkataan al Imam al Qadli Najm ad-Din dalam kitabnya Kifayah an-Nabih …fi Syarh at-Tanbih bahwa ia menukil dari al Qadli Husayn (W. 462H) )

v  Imam Ghozali  dalam kitab Ihya’ Ulumiddin,  menuliskan bab khusus tentang penjelasan akidah mayoritas umat Islam . Di antara yang beliau tulis adalah sebagai berikut:
"Allahl beristiwa di arsy dengan cara seperti yang dikatakan-Nya & dengan arti yang dikehendaki-Nya. Istiwa-Nya, maha suci dari persentuhan dan menetap serta diam; maha suci dari bertempat maupun berpindah serta tidak dipikul arsy. Maha suci Allahl dari menempati ruang dan waktu.
Dia sekarang  (setelah menciptakan tempat dan arah) ada seperti sediakala tanpa tempat dan dan tanpa arah".

v  Imam Ahmad bin Hanbal :
“ Dia (Allahl) istiwa sebagaimana Dia kabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia.”( Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.)
“Dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahwa beliau mengatakan tentang (Allahl) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya( Imam Ahmad) (Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami)

v  Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allahl dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allahl tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”. ath-thahawi juga mengatakan: "Barangsiapa menyifati Allahldengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir".
Perkataan para Imam diatas dikutip dari kitab-kitab Mu’tabar yang di tulis para murid/para imam lainnya yang dapat dijadikan pegangan & dipertanggungjawabkan, bukan dari kitab yang menafsirkan dengan serampangan atau memalsukan ucapan para imam  seperti yang diungkapkan Ibnu hajar al haytami .

Allahl ada tanpa tempat dan arah, Mensucikan Allah ldari Hadd,  Anggota badan, ruang & waktu dan Semua Sifat-sifat Makhluk. adalah aqidah Ahlussunnah,  Ijma’ (kesepakatan) para sahabat dan As-Salafus-Shalih (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah),

”Maha Suci Tuhan-Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan  dari apa – apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas Tuhan sekalian alam” .
(QS. Asshaffat : 180-182).


G.  KESIMPULAN

Di dalam Al Qur’an & Hadits terdapat banyak ayat-ayat yang multi tafsir, bercabang dan tidak pasti (teks Dzanniy), dimana dalam menafsirkannya membutuhkan keilmuan yang sangat mumpuni, dalam hal inilah Mazhab berperan melalui penelitian secara mendalam yang dilakukan oleh para ulama mujtahid untuk mengetahui hukum Allahlyang terdapat dalam Al-Qur’an, Al-Hadits serta dalil-dalil lainnya. Hadirnya mereka ini memberikan metode serta pemaparan yang jelas dan tidak menyesatkan dalam teks-teks tersebut, karena memang teks-teks  yang ada tidak mungkin bisa dipahami secara tekstual saja, dan tidak hanya dengan terjemah letterleg  (Harfiah) saja.
Keberadaan mazhab sangat penting sekali untuk memudahkan umat dalam menjalankan agama dan sebagai bentuk perhatian ulama yang memang para ahli ilmu terkait kekhawatiran akan adanya penyelewengan dan pemahaman keliru bahkan sesat akan teks-teks Al-Quran atau juga hadits.

Kendati pintu ijtihad masih terbuka lebar, dan umat Islam tidak terikat pada satu Mazhab tertentu. Mereka diberi kebebasan untuk memilih Mazhab  , namun ulama menekankan bahwa yang  relatif lebih aman & lebih selamat untuk diikuti pada saat ini adalah Mazhab yang 4, karena Mazhab yang 4 ini telah teruji ke-shahihan-nya, karena metode istinbath yang jelas dan sistematik dan ter-kodifikasi (dibukukan, didokumentasikan secara detail & lengkap ) dengan baik oleh para muridnya dan atau ulama-ulama mazhabnya. Hal ini menjadikan fatwa-fatwa yang muncul dari 4 Mazhab ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dengan semua pertimbangan itu, maka mengikuti sebuah mazhab yang besar dan sudah teruji lebih dari seribu tahun tentu adalah pilihan bijak. Bahkan karena mazhab itu sudah sangat lengkap isinya, seolah-olah nyaris tidak ada tempat lagi untuk ijtihad, kecuali pada masalah-masalah kontemporer yang tidak ada di zaman dahulu. Meskipun begitu bukan berarti tidak boleh bertaqlid kepada mazhab diluar mazhab 4 karena semua kembali kepada keyakinan diri masing-masing.

Memilih suatu mazhab atau bahkan sama sekali tidak bermazhab adalah suatu pilihan , akan tetapi kita harus menyadari konsekuensi dan resikonya seperti yang dikhawatirkan para ulama-ulama besar yang jadi panutan terdahulu. Karena ini menyangkut kehidupan dunia dan juga terutama akhirat, yang mana apabila kita tersesat hingga kematian menjemput maka tidak ada lagi waktu untuk memperbaikinya, oleh sebab itulah banyak ulama besar menekankan sangat pentingnya bermazhab .

Ada sebuah analogi sederhana untuk memberikan gambaran tentang bermazhab:
Andaikan kita ingin pergi dari Bandung menuju sebuah perkampungan kecil di pedalaman Papua, akan tetapi kita kurang begitu faham jalur-jalur menuju kesana karena terlahir di tempat yang jauh dari kampung itu dan belum pernah sekalipun pergi ketempat tersebut.
Sementara itu di Kota Bandung terdapat 4 orang yang telah dikenal dan dipercaya masyarakat bahwa mereka lahir di daerah yang dekat dengan kampung papua tersebut dan sudah hafal sekali jalan-jalan / rute menuju kampung itu.  Apakah yang sebaiknya kita lakukan ?
a)        Memilih salah seorang dari ke 4 orang tersebut untuk mengantarnya/memberi petunjuk hingga sampai ke kampung  pedalaman Papua.

b)       Berangkat sendiri dengan percaya diri, soal rute tinggal tanya sana sini atau buka GPS.

c)        Mencari orang ke 5, ke 6 bahkan mungkin ke 7 sebagai penuntun /penunjuk arah.
                                 
Ikhlas adalah kunci untuk  mencari dan mendapatkan petunjuk Kebenaran , karena seperti dituangkan Imam Ghazali dalam kitab Ihya bahwa Hakikat Ilmu (agama) hanya akan datang kepada batin yang bersih yang  mencari ilmu karena bertujuan ingin mencari ridho Allahlsehingga akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat dalam kebenaran illahi.
Wallahu a’lam bish-shawab Semoga dapat menjadi bahan perenungan.


lanjut ke : BAGIAN  KEDUA: MASALAH KHILAFIYAH















Tidak ada komentar:

Posting Komentar